3 Kontroversi yang Pernah Dibuat Legenda Bulutangkis Indonesia, Ferry Sonneville
INDOSPORT. COM - Ferry Sonneville, legenda bulutangkis Indonesia era 1950-1960 silam, rekam jejaknya tak lepas dari kontroversi heboh.
Momen tim bulutangkis Indonesia ketika kali perdana menjuarai ajang Piala Thomas pada 1958, dihiasi kontribusi besar seorang Ferry Sonneville.
Permainannya di nomor tunggal putra termasuk yang paling menonjol, karena bisa mengalahkan beberapa pebulutangkis hebat dari tim lawan, seperti Erland Kops, Charoen Wattanasin, hingga Eddy Choong.
Peran Ferry Sonneville kembali berdampak baik bagi bulutangkis Indonesia di ajang Piala Thomas 1961 dan 1964.
Dua ajang tersebut Ferry Sonneville terlibat aktif dan berhasil mengantarkan Merah Putih keluar sebagai juara kompetisi.
Masih banyak prestasi bergengsi lainnya yang sudah Ferry Sonneville sumbangkan kepada bulutangkis Indonesia.
Intinya, Ferry Sonneville merupakan salah satu pebulutangkis tunggal putra terbaik yang pernah dimiliki Tanah Air.
Meski kariernya tampak begitu hebat, pria yang sudah meninggal dunia pada 20 November 2003 ini pernah menciptakan sejumlah kontroversi heboh.
Deretan kontroversi ini ia lakukan ketika masih aktif sebagai pebulutangkis, maupun kala dirinya sudah gantung raket dan aktif di kepengurusan PBSI.
1. Kontroversi Piala Thomas 1967
Ferry Sonneville memang berjasa besar atas keberhasilan Indonesia membawa pulang medali emas Piala Thomas 1958, 1961, dan 1964.
Namun jasa besar tersebut agak tercoreng akibat ulahnya sendiri yang menimbulkan kontroversi dalam ajang Piala Thomas 1967.
Kala itu, usia Ferry Sonneville menginjak 36 tahun dan kemampuannya sudah menurun drastis, tak lagi sehebat masa jayanya.
Beredar isu bahwa Ferry Sonneville melakukan pemaksaaan kepada pihak berwenang agar tetap disertakan ke tim Indonesia untuk ajang Piala Thomas 1967.
Dapat dimaklumi Ferry Sonneville memaksa demikian, sebab Piala Thomas 1967 perhelatannya digelar di Indonesia.
Sayang sekali, keberadaan Ferry Sonneville ternyata malah membuat permainan tim Indonesia kacau.
Ia gagal menyumbangkan satu poin pun buat Merah Putih, hingga mendapat sorakan cemooh dari para pendukung bulutangkis Indonesia yang memadati venue pertandingan.
Kegagalan di Piala Thomas 1967 lantas diketahui menjadi ujung jalan karier bulutangkis Ferry Sonneville.
Peraturan Kontroversial di PBSI
Ferry Sonneville sangat aktif di organisasi bulutangkis, baik dalam kepengurusan PBSI maupun BWF.
Namun, keberadaan Ferry Sonneville sempat membuat gaduh PBSI karena menciptakan sebuah peraturan kontroversial.
Ia diketahui menjadi aktor utama yang mengubah peraturan sponsor bagi para atlet naungan PBSI.
Awalnya, aturan sponsor boleh dijalankan perorangan, tapi Ferry Sonneville mengubahnya menjadi urusan kolektif dan pembagiannya dilaksanakan oleh PBSI.
Kebijakan buatan Ferry Sonneville tentu menganggu motivasi para atlet bulutangkis Indonesia ketika bertanding.
Merasa haknya dirampas secara tidak adil, para atlet menjadi setengah hati membela Indonesia di pentas bulutangkis internasional.
2. Kontroversi di Piala Thomas 1984
Piala Thomas 1984, tim bulutangkis Indonesia dilatih oleh Tan Joe Hok dan mengusung target juara.
Sebelum kompetisi dimulai, Ferry Sonneville yang sedang menjabat sebagai ketua PBSI, melakukan intervensi kelewat batas.
Bagaimana tidak, Ferry Sonneville menolak adanya sistem seleksi pemain dan hendak memilih sendiri atlet-atlet yang akan dibawa di ajang Piala Thomas 1984.
Beruntung, pihak Tan Joe Hok bisa melakukan pembelaan yang membuat Ferry Sonneville melunak.
Tan Joe Hok akhirnya boleh dengan leluasa menggelar seleksi pemain, sekaligus membawa para atlet bulutangkis terbaik untuk berlaga.
Hasilnya pun berbuah manis, Indonesia mampu keluar sebagai juara Piala Thomas 1984, mengalahkan China di partai final.