Liga Champions, Panggung Para Juara yang Semakin Bias dan Kehilangan Makna
INDOSPORT.COM - Liga Champions. Apa yang pertama kali terlintas di benak Anda tentang kompetisi sepak bola paling elite di dataran Eropa ini? Tentu saja tontonan seru karena klub-klub terbaik Benua Biru saling sikut berebut trofi juara di sini.
Sesuai namanya, Liga Champions memang dirancang untuk mengadu kekuatan jawara-jawara liga domestik Eropa. Pemenangnya nanti berhak menyandang predikat sebagai klub terhebat seantero Benua Biru.
Seiring berjalannya waktu, Liga Champions bisa dikatakan mulai menyimpang, bahkan kehilangan makna sejatinya. Kompetisi ini tak lagi eksklusif berisikan klub-klub juara liga domestik, melainkan diatur sedemikian rupa sesuai dengan 'kasta' setiap negara.
Sistem 'kasta' tersebut mengacu kepada nilai koefisien UEFA. Penghuni jajaran elite alias papan atas daftar boleh mengirimkan lebih dari satu wakil yang biasanya diambil dari posisi di klasemen akhir liga domestik.
Spanyol, Inggris, Italia, dan Jerman bahkan rutin mengirimkan masing-masing empat wakil (paling banyak dibandingkan negara lain) secara langsung ke fase grup Liga Champions.
Bisa dimaklumi mengingat keempat negara itu tergolong paling berprestasi di kancah Eropa, dengan keberadaan klub-klub raksasa sekaliber Real Madrid, Barcelona, Chelsea, Manchester United, Juventus, AC Milan, dan Bayern Munchen.
Tengok saja daftar juara Liga Champions. Bisa dilihat kapan terakhir kali trofi Si Kuping Besar dibawa pulang oleh wakil negara selain Spanyol, Inggris, Italia, dan Jerman, yakni 2004 alias 17 tahun lalu!
Kala itu, FC Porto yang notabene raksasa Portugal menjuarai Liga Champions usai mencukur jagoan Prancis, AS Monaco, dengan skor telak tiga gol tanpa balas di partai final.Â
Selebihnya, klub-klub Spanyol, Inggris, Italia, dan Jerman bergantian merengkuh trofi Liga Champions, termasuk musim ini yang memanggungkan duel akbar bertajuk All English Final antara Manchester City vs Chelsea, Sabtu (29/5/21).
Kebijakan 'kasta' memang membuat Liga Champions bertambah megah dan meriah. Laga-laga krusial yang menjanjikan aksi-aksi menghibur serta tak jarang berbalut menyedot penonton dalam jumlah besar, bukan cuma dari Eropa, melainkan seluruh penjuru dunia.
Di sisi lain, perubahan ini menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Apakah Liga Champions masih bermakna? Bukannya menyimpang dari khitahnya?
1. Juara yang Bukan Juara
Berdasarkan catatan sejarah, Liga Champions pertama kali bergulir pada edisi 1955-1956, dengan format lama tentunya. Pesertanya pun masih 'murni', yaitu para jawara liga-liga domestik, dengan menggunakan sistem turnamen (kalah langsung gugur).
Berselang 36 tahun kemudian, UEFA merombak format kompetisi sekaligus membidani Liga Champions yang kita kenal sekarang. Reformasi ini dimulai per edisi 1992-1993, walaupun tercoreng skandal Marseille (gelar juara dicabut akibat terlibat pengaturan skor di liga domestik).
Total lima musim pertama era baru Liga Champions hingga 1996-1997 berjalan sesuai 'kodrat' karena pesertanya adalah klub-klub juara liga domestik di Eropa. Masih eksklusif dan murni.
Penyimpangan baru dilakukan pada edisi 1997-1998. Runner-up dari sebagian liga domestik yang masuk kategori elite mendapatkan jatah, meski diharuskan mengikuti babak kualifikasi sebelum memastikan slot di fase grup.
Semakin ke sini, jumlah klub dari negara-negara elite kian bertambah. Makna Liga Champions pun bukan lagi kompetisinya para juara Eropa, terlebih bila melihat daftar juara sejak UEFA memberlakukan kebijakan baru tersebut (1997-1998).
Dari total 24 musim, hanya 10 kampiun Liga Champions yang 'berdarah murni', dalam artian berpartisipasi dengan status juara liga domestik, bukan runner-up, peringkat ketiga, apalagi peringkat keempat.
Perinciannya juara 'berdarah murni' antara lain Real Madrid (1997-1998, 2001-2002, 2017-2018), Bayern Munchen (2000-2001, 2019-2020), FC Porto (2003-2004), Barcelona (2005-2006, 2010-2011), Manchester United (2007-2008), dan Inter Milan (2009-2010).
Selebihnya? Ya tentu saja juara yang bukan juara, termasuk Liga Champions musim ini. Baik Manchester City maupun Chelsea bukanlah kampiun Liga Inggris 2019-2020.
Mereka masing-masing sebagai runner-up dan peringkat keempat, sedangkan sang raja Premier League musim lalu adalah Liverpool, yang diketahui tersingkir lebih dulu dari ajang Liga Champions 2020-2021 akibat ditekuk Real Madrid di perempat final.
Rekor juara dari jalur paling rendah masih dipegang oleh AC Milan (2002-2003) dan Liverpool (2004-2005). Keduanya sama-sama lolos ke Liga Champions bermodalkan label peringkat keempat liga domestik dan harus melewati kualifikasi sebelum melaju ke fase grup.
Musim ini, Chelsea berpeluang menyamai rekor AC Milan dan Liverpool, namun siapa pun nantinya yang menang tetap saja nilai luhur Liga Champions telah luntur.
Makna sejati Liga Champions sudah lama terkikis. Kini sudah bergeser dan kehilangan eksklusivitas, sehingga pemenangnya tidak lagi pantas diagung-agungkan dengan label "Juara dari Para Juara".