Alasan Kenapa Rumput Sintetis jadi Musuh Utama Marc Klok cs di Laga Piala AFF Filipina vs Indonesia
INDOSPORT.COM - Pemakaian rumput sintetis di stadion Rizal Memorial jadi isu yang sering dibahas jelang laga terakhir Grup A Piala AFF 2022 antara Filipina vs Indonesia.
Sebenarnya rumput sintetis bukan lagi hal asing di sepakbola dan olahraga pada umumnya sejak mulai tersebar luas pemakaiannya lebih dari dua dekade lalu.
Hanya saja perbedaan signifikan yang diberikan dibanding lapangan dengan rumput alami jadi salah satu alasan kenapa rumput imitasi kurang diminati para atlet.
Para penggawa timnas Indonesia seperti Nadeo Argawinata serta Ilija Spasojevic sudah menyuarakan opini mereka soal permukaan stadion Rizal Memorial yang jadi markas utama Filipina.
Meski tidak ingin menjadikan hal tersebut alasan penghambat performa, namun keduanya tetap saja lebih senang jika bermain di lapangan dengan rumput natural.
Apalagi laga melawan Filipina sangat krusial dengan status juara Grup A Piala AFF 2022 akan ditentukan. Tentunya timnas Indonesia ingin melaju ke semifinal dengan peringkat setinggi mungkin demi memuluskan langkah menuju partai puncak.
"Kami harus beradaptasi lebih dulu dengan lapangan, alur bola, dan segala macam. Makanya kami perlu biasakan," ujar Nadeo selaku kiper Tim Garuda pada Antara.
"Ini kandang Filipina. Mereka paham lapangan ini. Prediksi saya mereka akan mengandalkan bola jauh. Itu saja dari saya untuk mengantisipasi lini pertahanan," ujarnya menambahkan.
"Di Indonesia kami tidak biasa bermain di lapangan sitentis jadi kami mesti membiasakan diri. Tidak ada jalan lain," imbuh Spasjevic.
"Cara berlari juga mesti berbeda. Itulah kenapa kami berangkat (lebih cepat) ke Filipina," lanjut striker yang sudah mengemas satu gol di Piala AFF 2022 itu.
1. Tak Berikan Kenyamanan dan Keamanan
Rumput sintetis pada awalnya dipopulerkan untuk mengatasi masalah seperti minimnya fasilitas olahraga.
Bagi daerah yang kondisinya memang sulit untuk ditumbuhi rumput natural, penemuan ini bagai hadiah luar biasa. Negara-negara dengan iklim dingin seperti Rusia atau Islandia adalah contoh pelanggan rumput buatan.
Yang kedua adalah solusi bagi berlimpahnya limbah ban. Ban-ban bekas yang mungkin sudah sulit untuk didaur ulang kemudian dicacah menjadi remah karet atau rubber crumb.
Remah tersebut cukup sering kita temukan dalam lapangan-lapangan futsal atau sepakbola indoor di Indonesia. Tujuannya adalah membuat permukaan lapangan sintetis menjadi lebih empuk.
Hanya saja yang namanya tiruan tidak akan pernah bisa 100% menyamai barang aslinya. Begitu juga dalam kasus rumput sintetis sebagai ganti rumput alami.
Memamg biaya pemasangan dan perawatannya lebih murah ketimbang pesaingnya namun rumput sintetis namun sisi negatifnya cukup banyak.
Berbeda dengan rumput alami yang tumbuh di atas tanah, rumput tiruan menggunakan alas beton. Permukaannya pun jadi lebih keras sehingga jika digunakan untuk sepakbola, si kulit bundar pantulannya menjadi lebih tinggi dan sulit dikontrol.
Penggunaan remah karet juga bisa membuat laju bola ketika diumpan menjadi berbeda dan lagi-lagi bisa mempengaruhi kualitas kontrol seorang pemain.
Luka pun juga jadi lebih sering ketika terjatuh. Memang remah karet difungsikan untuk meminimalisir benturan namun teksturnya yang agak kasar bisa menyakiti para pemain.
Penelitian dari American Journal of Sports Medicine pada 2013 lalu pun mengemukakan jika atlet 20% lebih rentan akan cedera jika bermain di rumput sintetis.
2. Sebabkan Kanker?
Temuan tersebut dilaporkan setelah dilakukan pengamatan pada 797 sampel pertandingan. Variasi cederanya sangat beragam mulai dari engkel, lutut, bahu, kepala, ligamen, bahkan gegar otak. Hanya cedera panggul saja yang lebih sering terjadi di lapangan alami.
Sejak 2009 pun timbul kecurigaan juga jika lapangan sintetis dapat menyebabkan kanker dan sejumlah penyakit lain. Semua bermula dari dua kiper tim sepakbola University of Washington divonis menderita kanker kelenjar getah bening di usia 18 tahun.
Salah satu kiper tersebut sudah berlatih menjadi penjaga gawang sejak usia 12 tahun dan bersinggungan dengan rumput sintetis sebanyak 20 jam tiap pekannya.
Material dari remah karet kemudian diduga jadi penyebab. Selain level kebersihannya yang buruk, rupanya ban sebagai bahan baku pembuatannya pun memang mengandung zat karsinogenik alias pemicu kanker.
International Agency of Cancer Research menemukan arsenik, benzene, cadmium, dan juga nikel dari ban untuk membuat remah karet. Unsur berbahaya tersebut sudah diketahui sejak popularitas lapangan sintetis bermula namun mereka tidak menyangka efeknya akan separah ini.
Maka dari itu dianjurkan untuk membersihkan diri dengan baik setelah bermain di lapangan sintetis. Termasuk skuad timnas Indonesia nanti.
Anak-anak asuh Shin Tae-yong padahal sudah diuji dengan adaptasi permukaan yang berbeda dan masih harus memikirkan kebersihan.
Nama-nama seperti Marc Klok, Ricky Kambuaya, dan Marselino Ferdinan sepertinya jadi yang harus paling waspada akan rumput sintetis. Posisi mereka sebagai gelandang pengatur permainan membuat ketiganya akan paling sering menguasai bola sehingga rawan akan cedera dan blunder.
Namun ketiganya pasti bisa beradaptasi dengan baik dan iming-iming tiket semifinal Piala AFF 2022 dapat memotivasi mereka lebih jauh.
Rizal Memorial tidak akan jadi venue yang ramah namun tiga poin tetap waji didapatkan di laga Filipina vs Indonesia.