Rusia, Israel, dan Standar Ganda FIFA dalam Menyikapi Konflik Politik
INDOSPORT.COM - Induk sepak bola dunia, FIFA, tengah menjadi sorotan masyarakat Indonesia terkait standar ganda yang terlihat di lapangan hijau.
Standar ganda yang dilabeli ke FIFA oleh masyarakat Indonesia tak lepas dari kisruh Piala Dunia U-20 2023 yang akan digelar di Tanah Air.
Seperti yang diketahui, belakangan ada isu yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia akan dicabut FIFA.
Hal ini lantaran gelombang penolakan terhadap kehadiran Timnas Israel, baik itu dari kalangan masyarakat maupun dari pejabat pemerintahan.
Dari kalangan masyarakat, penolakan terhadap kehadiran tim tersebut hadir dari berbagai organisasi-organisasi yang ada di masyarakat
Sedangkan dari pejabat pemerintahan, penolakan kehadiran Timnas Israel ke Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia datang dari Gubernur Bali dan Gubernur Jawa Tengah selaku tuan rumah.
Masifnya penolakan ini pun membuat ajang dua tahunan itu terancam penyelenggaraanya. Banyak beredar informasi, bahwa FIFA selaku penyelenggara tak senang dengan sikap politis ini.
Hal tersebutlah yang membuat banyak masyarakat Indonesia nilai bahwa organisasi yang dipimpin Gianni Infantino itu menerapkan standar ganda.
Sebab, sikap yang diambil FIFA yang tak ingin mencampuradukkan sepak bola dengan politik atau sebuah gerakan kerap tercipta di lapangan hijau.
Lalu, apa saja standar ganda yang pernah dilakukan FIFA terhadap sikap politik atau gerakan-gerakan yang ada, yang kerap berubah-ubah sesuai keadaan hingga dilabeli hipokrit?
1. Standar Ganda FIFA
1. Bendera Palestina dan Simbol LGBT di Piala Dunia
Bendera Palestina menjadi salah satu topik yang kerap diperdebatkan di sepak bola. Bendera dari bagian negara jazirah Arab itu kerap dipertontonkan di lapangan hijau, baik oleh pemain atau pun suporter.
Tentu masih segar dalam ingatan bahwa Piala Dunia 2022 lalu diwarnai aksi pemain Maroko yang mengibarkan bendera Palestina saat meraih kemenangan atas Spanyol di babak Knock Out.
Namun, FIFA memilih diam yang membuat negara barat jengah. Sebab, tertera dalam aturannya, FIFA melarang hadirnya atribut yang menyinggung politik dan agama.
Apalagi di saat bersamaan, FIFA melarang penggunaan simbol pelangi atau simbol LGBT, yang kerap mereka perjuangkan bersama negara barat, saat penyelenggaraan Piala Dunia 2022.
Ada asumsi bahwa FIFA memilih diam atas ‘ketidakadilannya’ di mata negara barat itu karena ingin menghormati tuan rumah Qatar dan tak ingin menimbulkan kegaduhan di Arab World atau negara-negara Arab.
Dengan kata lain, FIFA bisa dikatakan sebagai organisasi hipokrit yang aturannya terkait hal-hal berbau politik bisa berubah sesuai kondisi yang ada.
2. Larang Rusia Tampil, Melunak untuk Israel
Standar ganda FIFA juga berlaku untuk dua negara yang sama-sama identik dengan invansi atau penyerangan ke suatu wilayah, yakni Rusia dan Israel.
FIFA lewat rilisnya, mengambil keputusan dengan mengikuti keputusan UEFA atau Federasi Sepak Bola Eropa untuk menghukum Rusia beserta klub-klubnya.
Rusia dilarang tampil pada Kualifikasi Piala Dunia 2022 dan klub-klubnya dilarang tampil di berbagai kompetisi di Eropa.
Parahnya, FIFA dan UEFA bahkan mengizinkan Polandia yang mengambil sikap tak ingin bertanding dengan Rusia karena invansinya ke Ukraina.
Hal ini berbanding terbalik dengan Israel yang menginvansi Palestina, di mana beberapa negara yang tak mengizinkan Israel datang ke negaranya, termasuk Indonesia.
Namun apakah FIFA mengizinkannya seperti halnya Polandia? Faktanya tidak. Malahan, FIFA dikabarkan akan mencoret Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.
Israel dengan adanya dukungan dari negara barat, justru tetap diizinkan bertanding meski banyak kabar invansi yang dilakukan terhadap Palestina dan jelas-jelas menyalahi aturan kemanusiaan.
2. Standar Ganda FIFA Berlanjut
3. Politik Apartheid di Afrika Selatan
Berbicara soal politik Apartheid, semua tentu sepakat bahwa kebijakan ini merupakan sistem keji yang pernah ada di muka bumi.
Sistem keji ini ditampilkan di Afrika Selatan yang menampilkan undang-undang negara melarang tim olahraga ras campuran dan mengizinkan tim kulit putih.
Hal ini membuat jengah masyarakat dunia yang anti-apartheid, karena terkesan rasis dan tidak berperikemanusiaan.
Adanya sistem itu membuat FIFA menangguhkan Afrika Selatan dari kompetisi-kompetisi di bawahnya pada 1961 dan mencabutnya pada 1990. Dengan kata lain, FIFA pun masuk ke dalam intrik politik yang ada di negara tersebut.
Langkah FIFA memberi hukuman memang benar jika melihat kejinya sistem tersebut. Tapi, FIFA mengambil keputusan itu karena larut dalam politik yang ada dan tekanan dari negara-negara yang menentang sistem itu.
Lantas, apakah memang sepak bola tak boleh dicampuradukkan dengan politik? Pada faktanya, FIFA memang hipokrit dan keluar dari esensi tergantung dengan kondisi atau bahkan keuntungan-keuntungan yang ada.