x

Perjuangan Raisa Aribatul, Atlet Putri Indonesia yang Berjihad di Lapangan Basket

Minggu, 6 November 2016 13:00 WIB
Penulis: Lanjar Wiratri | Editor: Galih Prasetyo

Melalui petisi di situs online, change.org, Raisa Aribatul Hamidah mencurahkan isi perasaannya berjuang untuk tetap mengenakan jilbab saat berada di lapangan basket. Mengenakan jilbab sejak kecil nyatanya tak menjadi halangan bagi perempuan kelahiran Ponorogo 26 tahun lalu itu untuk terus berkarier di dunia basket.

Raisa pun harus dihadapkan pada dua hal terpenting dalam hidupnya, yakni keyakinan dan basket yang menjadi panggilan hidupnya. Menjadi pebasket wanita berjilbab membuatnya harus menerima perlakuan tak mengenakkan yang justru datang dari International Basketball Federation (FIBA).

Raisa dihadapkan pada 'tembok besar' peraturan FIBA yang tanpa alasan jelas melarang penggunaan jilbab bagi atlet basket seluruh dunia.  Dalam Pasal 4.2.2, regulasi FIBA berbunyi, "Pemain tidak boleh memakai perlengkapan yang dapat menyebabkan pemain lain cedera. Seperti: tutup kepala, aksesoris rambut, dan perhiasan".

Ia pun harus memendam impiannya untuk membela timnas basket wanita Indonesia karena ia lebih memilih untuk mempertahankan keyakinannya berjilbab, yang menjadi kewajiban muslimah di seluruh dunia.

Dengan keyakinan, Raisa dan para pebasket wanita berjilbab di berbagai belahan dunia pun bersatu dan mencoba untuk meruntuhkan aturan tak adil FIBA bagi mereka. Raisa dan pebasket berjilbab lainnya ingin membuktikan jika jilbab bukanlah hal yang harus dimusuhi apalagi dilarang dalam olahraga karena hal tersebut sama sekali tak mempengaruhi bakat dan kemampuan mereka di lapangan.

Hingga saat ini, Raisa terus berjuang untuk menegakkan keadilan bagi dirinya dan para pebasket muslimah lainnya yang ‘dipaksa’ menanggalkan jilbabnya jika ingin terus bermain basket. Akankah perjuangan Raisa dan pebasket muslimah dunia lainnya berhasil?

Berikut INDOSPORT sajikan wawancara khusus dengan Raisa Aribatul, pebasket wanita berjilbab Indonesia yang tengah berjuang dan menanti perubahan peraturan yang diskriminatif bagi para atlet basket di seluruh dunia.


1. Awal terjun di dunia basket

Raisa Aribatul Hamidah

INDOSPORT: Awal berkarier di dunia basket?

Raisa: Saat Sekolah Menengah Pertama (SMP) diajak tim basket Ponorogo bergabung lalu ikuti kompetisi di Kejuaraan Daerah (Kejurda). Saat itu ada perwakilan dari Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) yang melihat kemampuan pemain dareah lalu kemudian dipanggil untuk ikut Kejurnas, PON, dll.

INDOSPORT: Ikut PON waktu itu tahun berapa?

Raisa: 2008 main di PON, di tahun itu saya sudah memperkuat Universitas Airlangga hingga terakhir tahun 2013 kemarin.

INDOSPORT: Kendala karena berjilbab?

Raisa: Saat peraturan berjilbab sudah diterapkan, saya masih diizinkan bermain tapi kena technical foul. Jadi setiap bermain saya selalu dianggap melakukan technical foul alias pelanggaran.

Lalu pada 2007, tak ada lagi larangan berjilbab di Indonesia. Waktu itu Adhyaksa Dault (Menpora saat itu) memberikan toleransi jika atlet berjilbab dibolehkan bertanding tapi ya itu peraturan khusus untuk regional Indonesia saja.


2. Dicoret dari Timnas dan buat petisi

Petisi Raisa Aribatul Hamidah yang dipopulerkan Change.org

INDOSPORT: Soal pencoretan dari Timnas basket?

Raisa: Pada 2008 saya berkesempatan masuk Timnas Indonesia wanita muda usia 18 tahun. Malam jelang pertandingan, saya dapat telepon dari Perbasi Pusat kalau mau bermain, saya harus menanggalkan jilbab karena aturannya sudah begitu.

Dari situ saya baru tahu, ternyata di basket itu ada aturan tidak boleh berjilbab, saya akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Sedih pastilah, karena pelarangan itu tidak masuk akal, padahal jilbab bukan halangan yang masuk teknik.

INDOSPORT: Buat petisi di change.org untuk menghilangkan larangan berhijab bagi pebasket?

Raisa: Awalnya sekitar dua sampai tiga tahun lalu ada komunikasi dengan pebasket dari Inggris, Bosnia, dan Amerika Serikat. Mereka pebasket pro yang memakai jilbab juga. Kita sharing karena punya nasib yang sama, ada salah satu teman saya di Bosnia yang aktivis juga menangani masalah perempuan.

Akhirnya pada bulan Juli tahun ini, kita sepakat serentak membuat petisi dalam bahasa masing-masing, untuk menghimpun dukungan dari negara masing-masing.

Pada Agustus 2014, FIBA sudah menerima masukan soal aturan larangan berjilbab bagi pebasket yang harus dihapus. FIBA menerima dengan syarat jika aturan tersebut harus diuji coba dan dilakukan survey untuk membahas perihal hal itu dan butuh dua tahun.

Harusnya pada Agustus tahun ini aturan tersebut sudah keluar, tapi hingga sekarang belum juga dikeluarkan.


3. Terus berharap pebasket berjilbab dapat haknya

Raisa Aribatul Hamidah

INDOSPORT: Masih optimis aturan larangan FIBA terkait pebasket berjilbab bisa dihapus?

Raisa: Saya berharap FIBA bijak untuk mencabut larangan tersebut. Selama dua tahun uji coba tidak ada klaim atau bukti jika jilbab itu membahayakan. 

Sepakbola dan renang bahkan telah terlebih dahulu mencabut aturan soal larangan atlet berjilbab. Tapi kenapa basket tidak langsung mencabut aturan ini?

INDOSPORT: Ada perlakuan diskriminasi?

Raisa: Saya tidak terpengaruh, teman-teman saya di dunia basket dari berbagai agama mereka tidak ada masalah, sama sekali tidak ada diskriminasi. Pengurus dan pejabat-pejabat basket Indonesia juga tidak ada masalah sama sekali tidak ada diskriminasi.

Orang-orang yang membuat aturan di FIBA sama sekali tidak bersentuhan langsung dan merasakan jika berjilbab sama sekali bukan halangan untuk bermain basket. Kalau saya, saya sama sekali tidak merasa terhambat.


4. Michael Jordan dan komunitas untuk kaum dhuafa

Raisa Aribatul Hamidah

INDOSPORT: Pebasket idola?

Raisa Aribatul: Saya suka Michael Jordan karena dia mungkin idola semua pemain basket di dunia.

INDOSPORT: Sekarang kesibukannya apa?

Raisa: Saat ini saya berada di Solo bersama keluarga. Saya juga punya pekerjaan baru, mengajar.

INDOSPORT: Kalau ada waktu kosong biasanya dipakai untuk apa?

Raisa: Mengikuti kegiatan komunitas sosial, membagikan nasi bungkus untuk kaum duafa, kaum yang kurang mampu setiap hari Jumat. Kemudian ada Save Street Child (SSChild), ini komunitas itu untuk anak-anak terlantar.

Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi)FIBAWawancara KhususRaisa Aribatul

Berita Terkini