Atlet wanita di Arab Saudi terus memperjuangkan cita-cita dan hasratnya untuk mengharumkan nama negaranya melalui Olahraga. Meski menuai kontroversi, mereka tetap berharap pemerintah bisa menemukan solusi terbaik, Kamis (02/03/17).
Tinggal di negara yang menerapkan syariat agama tertentu menjadi kesulitan tersendiri bagi atlet olahraga. Berlandaskan agama, beberapa cabang olahraga ada yang tidakdiperbolehkan, dan melarang atlet atau penggiat olahraga tersebut untuk menghentikan segala bentuk kegiatannya.
Iran misalnya, sempat melarang olahraga catur karena dianggap buang-buang waktu dan berpotensi judi. Namun pada tahun 1988, melalui pemimpinnya ketika itu, Ayatollah Rouhollah Khomeini, Iran mencabut fatwa tersebut karena tidak dinilai aman dari perjudian.
Di Arab Saudi, Abdul Aziz bin-Abdullah, ketua Komite Penelitian dan Pengawas Fatwa atau disebut Grand Mufti di awal tahun 2016 pernah mengeluarkan fatwa haram. Padahal ketika itu Kota Mekah hendak menggelar turnamen catur internasional di bulan Januari.
"Permainan catur hanya membuang-buang waktu. Catur membuat kebencian antar sesama manusia dan membuka peluang besar perputaran uang haram, yakni judi. Judi dilarang dalam Al-Quran," kata Abdul Aziz seperti dilansir dari Daily Mail.
Bagi atlet wanita di Arab Saudi yang kental dengan ajaran Islam, mereka pernah dan sedang menghadapi permasalahan. Tahun 2013, pemerintah Arab Saudi melarang olahraga untuk digeluti bagi kaum perempuan di sekolah pribadi untuk pertama kali.
Dilihat dari sudut pandang agama, dalam hal ini agama Islam, ketatnya larangan kepada wanita di sana membuat atlet dari kaum hawa tidak banyak ditemukan. Dilansir dari laman The Week, seorang wanita bahkan dilarang untuk mengendarai mobil, memakai pakaian atau make up yang menonjolkan sisi 'kecantikan', sampai berenang.
Di sisi lain, mereka sebenarnya juga ingin tetap melaksanakan kewajiban sebagai wanita muslimah. Akibatnya, beberapa cabang olahraga yang 'tidak mungkin' bisa mereka mainkan karena melawan keyakinan (sepert voli pantai, renang, dan sebagainya) minim peminat.
Menariknya, tidak sedikit dari atlet wanita muslimah di Arab Saudi yang memaksakan untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan ajaran Islam di setiap kegiatan keolahragaan yang mereka geluti. Memakai kerudung, celana panjang, dan pakaian tertutup menjadi cara paling bijaksana.
Sayang beribu sayang, beberapa otoritas dan badan penyelenggara olahraga terkadang melarang pakaian 'Islami' digunakan di kegiatan olahraga tersebut. Tentu banyak pertimbangannya, seperti membahayakan si atlet itu sendiri, sampai berpotensi menimbulkan kecurangan.
Namun demikian, mimpi bagi para atlet wanita untuk 'berbicara' di pentas dunia akhirnya terlaksana. Sempat tidak mengirimkan satu pun atlet wanita di Olimpiade 2008, pemerintah Arab Saudi, setelah didesak oleh International Olympic Committee (IOC), memperbolehkan atlet wanita untuk terjun ke Olimpiade London musim panas 2012.
Di Olimpiade 2012, memang hanya ada dua atlet wanita Arab Saudi yang ikut berpartisipasi. Tapi itu tetap menjadi salah satu tonggak terpenting dalam sejarah keolahragaan Arab Saudi.
Raja Abdullah, di sisi lain, diangap sebagai pahlawan bagi para atlet wanita. Tidak hanya dari sisi olahraga, pemerintah Arab Saudi juga mengusahakan menjamin hak asasi wanita untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, bekerja sesuai kemampuan dan keahlian, sampai pemilihan umum.
"Kerajaan Arab Saudi ingin berpartisipasi secara total di Olimpiade London 2012. Kata total di sini juga berarti mengirimkan atlet wanita yang lolos kualifikasi," jelas sebuah statement di website kedutaan hampir 5 tahun lalu.
Sejak diputuskannya 'fatwa halal' dari kerjaan Arab Saudi, geliat olahraga pun langsung bergelora. Mulai dari atlet berkuda, angkat besi, sepakbola, basket, hingga balap sepeda. Dalma Rushdi Malhas, atlet berkuda dari Arab Saudi ini malah telah lebih dulu berprestasi. Pada tahun 2010, ia meraih perunggu di Youth Olympic Games di Singapura.
Hebatnya, meskipun bertarung dengan peluh keringat, mayoritas atlet wanita Arab Saudi tetap menjaga martabat mereka sebagai muslimah. Di Olimpiade Rio tahun 2016 kemarin misalnya, pelari bernama Sarah Attar, memutuskan untuk mengenakan hijab. Attar menuturkan bahwa hijab sama sekali tidak mengganggu, dan sebaliknya, tidak mengenakan hijab justru membuat dirinya tidak nyaman.
Untuk kedepannya, Arab Saudi berharap agar prestasi olahraganya bisa menjadi jauh lebih baik. Hosam al-Qurashi, Direktur Eksekutif Komite Olimpiade Arab Saudi mengatakan jika ini adalah bentuk nyata reformasi olahraga di negaranya.
"Sistem olahraga Arab Saudi tengah menjajaki masa reformasi. Strategi kami adalah dengan membangun atlet-atlet yang lolos kualifikasi Olimpiade. Kami semua di sini berharap salah satu dari atlet tersebut, atas takdir Tuhan, bisa membuat kejutan," kata al-Quraishi dilansir dari NBC Olympics.
Lebih jauh, pemerintah berharap Arab Saudi bisa menyamai negara-negara Islam lainnya yang lebih berprestasi di bidang olahraga. Iran misalnya, baru-baru ini, tepatnya 24 Februari 2017, membuat Memorandum of Understading (MoU) dengan Rumania di bidang sepakbola.
Iran merupakan salah satu negara mayoritas Islam dengan prestasi olahraga paling baik. Atlet-atlet futsal wanita di Iran bahkan terbilang raksasa di kawasan Asia. Dengan dibentuknya MoU dengan Rumania, keduanya berharap bisa mengembangkan olahraga, khususnya sepakbola, futsal dan voli pantai.
"Sepakbola Iran dan Rumania memiliki banyak kesamaan karakter. Mengembangkan sepakbola di sejumlah area, terutama perkembangan sepakbola wanita, kepelatihan, dan perwasitan adalah prioritas utama kami," kata Mehdi Taj, presiden Federasi Sepakbola Iran, seperti dilansir dari laman Tasnim News.