x

Stadion GBK: Antara Martabat Bangsa dan Korban Gusuran

Jumat, 29 April 2016 14:00 WIB
Penulis: Lanjar Wiratri | Editor: Galih Prasetyo

Indonesia kembali mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah Piala Asia 2018. Stadion Gelora Bung Karno pun bebenah, pemerintah memutuskan untuk merenovasi total kompleks olahraga kebanggaan rakyat Indonesia tersebut.

Mengingat Stadion GBK tentu tak bisa dipisahkan dari peristiwa masa lampau saat Sukarno memindahkan ratusan warga Jakarta untuk dibangunnya stadion termegah di Indonesia tersebut. 

Cerita masa lampau tentang pembangunan stadion GBK sudah banyak yang melupakan. 


Proses pembangunan stadion Gelora Bung Karno.

Di era 60-an, Indonesia dibawah Sukarno memang tengah berambisi untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dengan menjalankan sejumlah program 'mercusuar'. Progran pembangunan yang dianggap Sukarno akan membuat negara-negara di luar mengakui Indonesia sebagai bangsa bermartabat. 

Pembangunan stadion GBK menjadi salah satunya. Stadion GBK dibangun lantaran Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games IV  (pada pelaksanaannya nama Asian Games IV berubah jadi Ganefo karena kepentingan politik).


Tiang pancang stadion Gelora Bung Karno. 

Penggusuran ribuan warga Jakarta harus dilakukan demi terciptanya kompleks olahraga megah tersebut. Warga pun merelakan tanah dan rumahnya kepada pemerintah masa itu, mereka ikhlas direlokasi ke kawasan lain saat bung Karno bersikukuh menjadikan Senayan sebagai venue olahraga terbesar milik Indonesia.

Jelang penyelenggaraan Asian Games 2018, INDOSPORT akan mengajak Anda kembali ke masa lalu di awal penggusuran warga Kampung Senayan, sebelum GBK berdiri. Proses panjang dan drama mewarnai berdirinya kompleks olahraga yang telah berumur 54 tahun tersebut. 


Proses pembangunan stadion Gelora Bung Karno.

Di tengah hiruk pikuk pemberitaan soal penggusuran beberapa wilayah di DKI Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, INDOSPORT mencoba kembali mengangkat perisitiwa masa lampau kala warga Jakarta juga jadi 'korban' gusuran, berikut ulasannya:


1. Tentara Memanaskan Penggusuran Senayan

Sejahrawan UI, JJ Rizal

Beberapa desa terpaksa direlokasi saat pemerintah memulai pembangunan Kompleks Olahraga Senayan. Warga Kampung Senayan dan Kebon Baru harus rela dipindahkan oleh pemerintah, dan penggusuran kampung Senayan dan sekitarnya menjadi kasus penggusuran pertama rakyat setelah kemerdekaan.

Penggusuran Kampung Senayan dan wilayah-wilayah di sekitarnya tak seperti penggusuran masa kini yang diwarnai kerusuhan karena warga tak rela melepas tanah dan rumahnya. Namun, kepiawaian Presiden Soekarno membujuk warga dan tokoh Betawi saat itu memuluskan penggusuran, yang sayangnya kembali diperkeruh oleh tentara saat itu.

“Senayan adalah contoh penggusuran yg manusiawi. Saat itu Presiden Sukarno yang ingin membangun Gelora langsung menemui  warga dan tokohnya berdialog. Dalam pertemuan itu diputuskan bareng warga bukan hanya tanahnya diganti untung, bahkan pohon2 buahnya diganti. Juga sebelumnya disediakan dulu tempat pemukiman ganti di Tebet,” ujar sejarawan, JJ Rizal kepada INDOSPORT.

“Sayang kemudian tentara ikut merecoki untuk menjelekkan posisi Sukarno yang saat itu memang tengah memanas hubungannya,” tambahnya.


2. Sunter Jadi Pilihan Sebelum Senayan

Stadion GBK Tempo Dulu

Panitia Penyelenggara perhelatan GANEFO (Pesta Olahraga negara-negara Berkembang) awalnya sempat melirik kawasan Sunter, Jakarta Utara, sebagai lokasi pembangunan megaproyek tersebut. Namun Bung Karno langsung menolaknya karena menganggap akses jalan ke kawasan sunter sama sama sekali tidak strategis dan memadai.

Pemerintah pun kembali mencari lokasi yang tepat untuk membangun kompleks olahraga yang akan digunakan sebagai venue Asian Games 1962. Soekarno dan panitia pun akhirnya sepakat untuk memilih Senayan sebagai lokasi paling sempurna. Selain akan dibangun kompleks olahraga, kawasan tersebut juga akan dijadikan Taman Kota.

Segera setelah itu, Presiden Soekarno pun memerintahkan pembebasan lahan seluas 360 hektare yang kala itu ditempati warga. Senayan yang rimbun pun mulai digusur dan warganya dipindahkan ke kawasan Tebet.

“Karena cara penggusuran yang manusiawi melalui dialog dengan lebih dulu memikirkan lokasi pemindahan, maka tidak ada perlawanan dari masyarakat. Mereka juga merasa bangga kampungnya menjadi bagian dari rencana besar Sukarno, menjadikan Jakarta sebagai ibukota thirdworldisme,” ujar JJ Rizal.


3. Tebet Disulap Jadi Pemukiman

Stadion GBK Tempo Dulu

Tebet yang pada era 1940-an masih berubah rawa-rawa pada akhirnya disulap menjadi pemukiman oleh pemerintah demi menampung warga gusuran Senayan. Segera setelah warga setuju untuk direlokasi, Tebet yang tadinya merupakan rawa-rawa pun langsung dikeringkan.

Kawasan tersebut langsung berubah fungsi menjadi pemukiman, pemerintah kala itu benar-benar serius untuk membangung pemukiman di sana. Para korban gusuran pun mendapat ganti rugi uang dari pemerintah setelah tanah dan rumah mereka diratakan.

“Kawasan Tebet setelah penggusuran itu memang sudah disiapkan sebagai lokasi permukiman layak,” tambah Rizal. Bahkan beebrapa warga seketika menjadi orang kaya baru setelah mendapat uang ganti rugi.


4. Ambisi Sukarno dibalik Pembangunan GBK

Sukarno (kanan) bersama dengan PM Uni Soviet, Nikita Kruschev melihat maket pembangunan stadion GBK.

Gelora Bung Karno atau yang dahulu bernama Gelora Senayan menjadi salah satu bangunan yang masuk daftar proyek mercusuar gagasan Sukarno. Tokoh proklamator itu berambisi untuk menunjukkan pada dunia jika Indonesia merupakan Negara kuat dan dengan membuat berbagai bangunan monumental.

Ganefo di sisi lain dianggap oleh Sukarno sebagai salah satu cara untuk menggelorakan semangata juang Negara-negara berkembang yang baru lepas dari penjajahan. Situasi perang dingin yang melibatkan dua kubu, Amerika Serikat dan Uni Soviet saat itu menggugah Sukarno yang ingin menggaungkan kubu netral.

“Ganefo itu bagian dari semangat KAA, solidaritas bangsa-bangsa bekas jajahan untuk memenuhi kedaulatan mereka sebagai bangsa merdeka, yaitu menentukan sikap sendiri tanpa intervensi atau malah paksaan negara salah satu blok,” jelas Rizal.

“Ingat saat itu situasi perang dingin, Amerika dan Rusia berebut pengaruh. Sukarno dengan lihai memanfaatkan situasi itu dan jadilah gelora dengan ongkos dari Rusia, sementara jalan By Pada dari Amerika. Keuntungan hemat ongkos inilah yang dicipratin Sukarno kepada warga Senayan dengan dapat ganti untung,” tambahnya.

Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK)SukarnoFlashback

Berita Terkini