3 Atlet yang Juga Berprofesi sebagai Dokter
Setiap tanggal 24 Oktober, masyarakat akan memperingati Hari Dokter Nasional, sebuah hari raya yang dirayakan untuk menghargai jasa-jasa para dokter kepada masyarakat dan juga kehidupan individual. Sebab, menjadi seorang dokter bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
Untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran, setiap pelajar harus mengemban ilmu pendidikan di perkuliahan dalam waktu yang lama. Biasanya, mahasiswa atau mahasiswi akan mengikuti proses belajar lebih dari empat tahun, yang mana lebih lama daripada jurusan kuliah pada umumnya, yang bisa diselesaikan dalam waktu empat tahun atau bahkan kurang dari waktu itu.
Selain itu, menjadi seorang dokter juga memerlukan jiwa sosial yang tinggi. Hal itu dikarenakan, dokter mempunyai tanggung jawab besar untuk menyembuhkan penyakit yang sedang diderita seseorang.
Menjadi seorang dokter juga sering kali dikatakan membutuhkan perjuangan yang besar. Pasalnya, dokter harus bisa mendahulukan kebutuhan kesehatan tubuh orang lain daripada dirinya.
Meskipun banyak 'aturan' tersebut, nyatanya ada pula para atlet Indonesia yang juga mempunyai profesi lain sebagai seorang dokter. Tidak hanya mempunyai hobi dalam dunia olahraga saja, mereka juga mempunyai otak cemerlang dan jiwa sosial tinggi.
Memperingati Hari Dokter Nasional pada hari ini, berikut INDOSPORT akan menyajikan siapa saja atlet yang juga turut berprofesi sebagai dokter.
1. Achmad Nawir
Achmad Nawir merupakan mantan pemain sepakbola Indonesia yang pernah memperkuat Tim Nasional (Timnas) Hindia Belanda, nama Timnas yang saat itu Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda.
Pria yang lahir pada 1 Januari 1911 silam itu pertama kali menggeluti bidang sepakbola bersama klub Houdt Braaf Stand (HBS) Surabaya, sebelum akhirnya dipanggil oleh pelatih kepala Johannes Mastenbroek untuk memperkuat Timnas.
Nawir menjadi pesepakbola asal Indonesia yang diberikan kepercayaan oleh Mastenbroek untuk menjadi kapten tim saat itu. Bersama rekan-rekannya, Nawir membawa Timnas Hindia Belanda unjuk gigi di Piala Dunia 1938 di Prancis, yang mana merupakan pertama kalinya Indonesia bisa tampil di kompetisi elite dunia tersebut, meskipun harus kalah dari Hungaria di babak pertama dengan skor 0-6.
Selain itu, nama Achmad Nawir juga dikenal sebagai pesepakbola pertama yang menggunakan kacamata kala berjibaku di lapangan hijau, apalagi untuk kompetisi sebesar Piala Dunia. Pada 1938 itu, FIFA memberikan toleransi dan izin kepadanya untuk bisa mengenakan kacamata selama pertandingan berlangsung.
Selain kehebatannya sebagai seorang pesepakbola, Nawir juga diketahui sebagai seorang terpelajar. Dirinya mempunyai gelar doktor dan juga berprofesi sebagai seorang dokter.
Saat tampil di Prancis, nama Nawir pun dikenal luas. Tidak hanya sebagai seorang pesepakbola tetapi juga profesinya sebagai seorang dokter.
"Kapten timnya adalah seorang dokter, yang menggunakan kacamata," ungkap wartawan The Times yang meliput pertandingan Timnas Hindia Belanda Piala Dunia 1938, dikutip dari Aktual (07/01/15).
Namun sepertinya, kecintaan Nawir pada dunia sepakbola lebih besar. Mengutip Tribun News (01/02/16), Nawir membela HBS Surabaya hingga memutuskan untuk pensiun dan beralih menjadi pelatih Persebaya Surabaya di era kemerdekaan.
Hingga menginjak usianya yang ke-84 tahun, Nawir pun mengembuskan napasnya yang terakhir dan meninggal dunia pada bulan April 1995 silam.
2. Endang Witarsa
Endang Witarsa merupakan sosok nama besar di balik kesuksesan Timnas era 1970-an. Pria yang juga dikenal dengan nama China-nya, Lim Sun Yu juga menjadi salah satu orang Tionghoa yang membawa pengaruh besar bagi persepakbolaan Indonesia.
Pria yang lahir pada 16 Oktober 1916 silam ini sudah memiliki kecintaan pada dunia si kulit bundar sejak masih kecil. Dirinya diketahui senang bermain sepakbola di kota kelahirannya di Kebumen, Jawa Tengah sejak usianya masih enam tahun.
Sayangnya, dunia sepakbola yang sudah mendarah daging itu harus terhenti sejenak tatkala dirinya harus menempuh pendidikan dokter gigi di Amerika Serikat. Hanya saja, kecintaannya terhadap dunia kulit bundar itu tidak pernah berhenti.
Meskipun menempuh pendidikan di dunia kedokteran, dirinya mengaku tidak pernah melupakan dunia sepakbola dan justru malah meninggalkan pendidikannya sebagai seorang dokter, dikutip dari Liputan6.com (02/04/06).
"Saya sekolah dokter gigi. Tapi tidak pernah praktik, cuma praktik bola." - Endang Witarsa.
Keinginan besar untuk menggeluti dunia persepakbolaan pun membuat Endang memberikan segala sesuatu pada dirinya untuk perkembangan sepakbola nasional. Endang turut mengharumkan bendera Merah Putih di ajang internasional, baik sebagai pemain ataupun pelatih Timnas Indonesia.
Pria yang akrab disapa Dokter itu, karena pernah mengemban ilmu di dunia kedokteran, juga sukses mempersembahkan berbagai gelar ketika menjadi pelatih Timnas Indonesia. Di antaranya trofi Kings Cup di Thailand pada 1968, Merdeka Games yang berlangsung di Malaysia pada 1969, ataupun trofi Aga Khan Cup yang berlangsung di Pakistan.
Meskipun saat itu usianya sudah tidak muda lagi, namun dirinya tetap melatih anak asuhnya dengan baik. Dirinya dikenal sebagai pelatih yang tegas dan disiplin dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pelatih.
Pemain-pemain legendaris Indonesia juga pernah merasakan tangan dingin Endang, seperti Iswadi Idris, Djamiat Dalhar, Sucipto Suntoro, Yudo Hadianto, Mulyadi, Surya Lesmana, hingga Widodo C Putro, dilansir dari CNN (28/01/17).
Hingga Endang mengembuskan napas terakhirnya pada 2 April 2008 lalu di usianya yang ke-91 tahun, dirinya terus memberikan kontribusi nyata pada perkembangan sepakbola Indonesia.
3. Mohammad Sarengat
Selain dari dunia sepakbola, ada pula atlet dari cabang olahraga lari yang juga berprofesi sebagai seorang dokter. Adalah Mohammad Sarengat, pria kelahiran Banyumas, 28 Oktober 1940 silam yang dikenal sebagai atlet lari atau sprinter.
Perjalanannya untuk menjadi seorang pelari nyatanya dilalui dengan banyak halangan dan dilema. Pasalnya, orang tuanya merupakan seorang guru dan juga pemain tenis. Pria yang lahir sebagai anak tertua dari 10 bersaudara tersebut awalnya menggeluti dunia tenis mengikuti jejak orang tuanya.
Sejak kecil, ia bersama ayahnya, Prawirosuprapto, bermain tenis dengan bola bekas dan raket seadanya. Namun, saat menempuh pendidikan di SD hingga SMA, Sarengat terobsesi dengan pamannya yang merupakan penjaga gawang Timnas PSSI, Mursanyoto.
Bermula dari situ, Sarengat pun menggeluti dunia sepakbola dengan menjadi penjaga gawang di kesebelasan sekolahnya dan kemudian bergabung dengan klub Indonesia Muda (IM) Surabaya.
Karena selalu ditempatkan di bangku cadangan, Sarengat pun memutuskan untuk menyerah dalam dunia sepakbola dan beralih ke cabang olahraga atletik. Siapa sangka, keputusan yang dilakukannya itu membuahkan hasil yang sangat memuaskan.
Saat menjadi seorang pelajar SMA, Sarengat pernah mengikuti juara lomba tingkat SMA di Surabaya dan menjadi juara. Berawal dari lomba tersebut, dirinya pun dilirik oleh Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) dan diboyong ke Jakarta.
Selama menjadi atlet lari, Sarengat telah mengharumkan nama Indonesia dengan memecahkan rekor lari se-Asia, yang mana dirinya mencatat waktu 10,2 detik pada Asian Games 1962 silam dan dinobatkan sebagai manusia tercepat di Asia, dikutip dari Liputan6.com (13/10/14).
Selain itu, dirinya juga turut mempersembahkan dua medali emas saat berlaga di nomor lari 100 meter dan lari gawang 110 meter.
“Sarengat, rakyat telah melimpahkan kamu di Pelatnas selama setahun, mulai dari pakaian kamu dan sepatumu, sekarang rakyat minta bukti.” - Bung Karno.
Sayangnya, kariernya di dunia olahraga lari itu harus terhenti ketika dirinya harus kembali melanjutkan pendidikan. Sejak menggeluti dunia lari, pendidikan Sarengat sempat terhenti dan sering kali mengalami kegagalan untuk lulus dalam ujian sekolah di SMA. Diketahui bahwa dirinya berhasil lulus dari SMA setelah tiga kali mengikuti ujian akhir sekolah.
Namun, masalah pendidikan kembali menghinggapi Sarengat ketika akan melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (AD) pertama, Letnan Jenderal GPH Djatikusumo, memberikan saran kepadanya untuk masuk dinas AD supaya bisa mendapatkan beasiswa kedokteran.
Sejak itu, Sarengat pun memilih mundur dari kehidupannya sebagai seorang atlet lari dan beralih profesi menjadi dokter TNI AD. Bahkan, Sarengat sempat menjadi dokter pribadi bagi dua Wakil Presiden RI saat itu, Sri Sultan Hamengkubuowono IX dan Adam Malik.
Dirinya juga dikatakan mendirikan Sports Campus Wijaya Kusuma (SCWK), klinik rehabilitasi pengguna narkoba. Menurut laporan, klinik tersebut dibangun pasca anak lelakinya terjerat narkoba dan berhasil disembuhkan.
Sayangnya, pada 2009 lalu Sarengat terserang penyakit stroke dan komplikasi penyakit. Manusia tercepat di Asia itu pun wafat pada 13 Oktober 2014 lalu di Rumah Sakit Pondok Indah.