Subur di Olahraga hingga Konser, Mengapa Fenomena Calo Sulit Diberantas di Indonesia?
INDOSPORT.COM – Fenomena calo seolah tidak bisa terpisahkan dari acara-acara musik, olahraga maupun event internasional lainya termasuk Indonesia Open 2023.
Jakarta tengah disibukkan dengan hajatan besar karena ada beberapa acara internasional seperti Indonesia Open 2023 (13-18 Juni), Timnas Indonesia vs Argentina (19 Juni) dan konser musik Coldplay pada 15 November 2023 mendatang.
Namun ketiga acara bergengsi tersebut tercoreng karena merebaknya para calo yang secara blak-blakan berani menjual tiket dengan harga yang tidak masuk akal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makelar atau yang biasa dikenal sebagai calo berarti seseorang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah.
Baik ajang Indonesia Open 2023, Timnas Indonesia vs Argentina dan konser Coldplay yang digelar di Jakarta semua tiketnya habis terjual hanya dalam satu hari dan bahkan beberapa menit saja sudah sold out.
Hal ini tak lepas dari tingginya antusiasme para penggemar, tetapi juga dimanfaatkan oleh para calo untuk mendapatkan keuntungan.
Contohnya saja pada ajang bulutangkis Indonesia Open 2023 yang berlangsung pada 13-18 Juni di Istora Senayan, Jakarta, di mana para calo secara terang-terangan menjual tiket tepat di depan pintu masuk utama.
Tak hanya itu, para calo ini juga berani menjual tiket miliknya di dalam halaman Istora Senayan, dan menawarkannya kepada para pengunjung maupun penggemar yang berlalu-lalang dengan santainya meski banyak panitia maupun aparat keamanan yang berjaga.
Tim INDOSPORT yang turun ke lapangan sempat ditawari tiket oleh calo, tetapi ia tidak mau menyebutkan nominal yang dipatoknya dan hanya menyebutkan harga aslinya.
Selain itu, saat tengah berbicara, pelaku nampaknya sudah mengetahui identitas kami sebagai seorang wartawan dan memilih bungkam kemudian pergi lalu bergabung dengan komplotannya.
1. PBSI: Mereka Beli dengan Sistem Sah
Tak lama kemudian dari kejauhan calo tersebut memantau seraya menunjuk ke arah kami untuk mengingatkan rekannya agar waspada tidak membocorkan informasi apapun.
Terkait fenomena ini, Broto Happy selaku Kepala Bidang Humas dan Media PBSI mengatakan bahwa masalah calo sudah di luar kuasanya.
PBSI tidak bisa menyalahkan calo karena mereka mendapatkan tiket secara resmi meski telah menetapkan satu KTP hanya untuk dua tiket.
"Calo ini memang hal lama yang terus ada kan. Kami juga tidak bisa menyalahkan atau melarang karena mereka juga belinya lewat mekanisme yang kami tetapkan," kata Broto Happy.
"Tidak ada hukum yang kuat untuk mengikat untuk para calo ini juga kan. Padahal kita sudah lakukan penjualan secara online," katanya.
Penggelembungan Harga
Selain itu INDOSPORT juga berhasil mengumpulkan sejumlah data dari para penonton yang membeli tiket yang dijual oleh para calo.
Menurut salah satu penonton yang tidak mau disebutkan namanya, mereka membeli tiket Indonesia Open 2023 dengan harga tak masuk akal.
Sekadar informasi, PBSI menjual tiket untuk babak 32 besar mulai dari Rp125 ribu sampai Rp300 ribu. Lalu untuk babak 16 besar mulai Rp200 ribu sampai Rp550 ribu, babak perempat final Rp425 ribu sampai Rp1,1 juta.
Kemudian babak semifinal senilai Rp500 ribu sampai Rp1,550 juta dan final Rp550 ribu hingga Rp2 juta, di mana semua harga yang tertera didapatkan berdasarkan presale dan harga normal.
Jika di babak 16 besar harga untuk kategori (CAT) 2 dijual dengan harga normal senilai Rp250 ribu, CAT 1 sebesar Rp350 ribu dan VIP senilai Rp550 ribu, tetapi calo menjualnya dengan harga dua kali lipat!
Untuk CAT 2 mereka jual senilai Rp500 ribu sampai Rp600 ribu, sedangkan kelas VIP senilai Rp1,2 juta. Namun harga tersebut bisa lebih murah jika dibeli dengan jumlah banyak.
“Ya Rp500-600 ribulah untuk satu tiket untuk CAT 2, kalau lebih banyak bisa lebih murah lagi. Saya beli empat Rp550 ribu per tiket jadi Rp2,2 juta,” kata narasumber penonton yang datang dari Bogor tersebut.
Narasumber itu juga mengatakan bahwa semua calo kompak menjual tiket seharga Rp600 ribu. Meski demikian, ia rela merogoh kocek dalam untuk menonton acara ini karena hanya digelar satu tahun sekali dan Indonesia Open kali ini akan menjadi edisi yang terakhir digelar di Istora Senayan.
“Semua calonya sudah kompak Rp600 ribu, tapi kan ini satu tahun sekali dan terakhir di Istora Senayan,” tambahnya.
Memahami Modus para Calo
Berdasarkan informasi yang dihimpun, para calo tersebut kebanyakan merupakan pekerja harian. Mereka melakukan modus operandinya dengan sudah mengantre di depan pintu Istora Senayan sejak subuh agar bisa mendapatkan tiket secara On The Spot (OTS).
Mereka juga biasanya membawa anak kecil maupun seseorang sebagai anggota keluarga agar bisa membeli banyak tiket. Selain itu, calo juga membeli tiket dari penonton dengan harga murah kemudian dijual lagi dengan mahal.
Hal serupa juga terjadi dalam penjualan tiket sepak bola di FIFA Matchday antara Timnas Indonesia vs Argentina yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno pada 19 Juni 2023 nanti.
Sejak dibuka, tiket FIFA Matchday ludes hanya dalam lima menit saja. Namun tak lama kemudian dijual kembali dengan harga mahal oleh calo di media sosial.
Sebagai informasi, PSSI menetapkan harga CAT 3 sebesar Rp600 ribu, lalu CAT 2 Rp1,2 juta, CAT 1 Rp2,5 juta, dan VIP Barat-Timur Rp4,25 juta.
Meski demikian, calo tiket Timnas Indonesia vs Argentina terancam merugi menyusul turunnya minat penonton usai Lionel Messi dilaporkan tak akan tampil di Jakarta.
Walau menjanjikan jika mendapatkan untung besar, tetapi calo juga merupakan ‘pekerjaan’ penuh risiko. Pasalnya, tiket yang dijajakkan belum tentu bisa laku terjual sehingga berakhir merugi.
Selain itu, juga calo dibayangi hukuman penjara yang sudah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia terutama jika menjual tiket palsu.
2. Bisa Diancam Pidana
Aspek Hukum Calo di Indonesia
Dalam KUHP atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, calo yang menjual tiket palsu bisa dijerat hukuman Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP serta Pasal 264 ayat (2) di mana pelaku bisa diancam penjara paling lama 6 tahun.
Menurut informasi tambahan dari heylawedu, ada empat peraturan undang-undang yang membahas soal calo di Indonesia, yakni:
- Calo tiket melanggar Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penipuan. Apabila seseorang terbukti melakukan penipuan, maka dapat dikenakan pidana penjara paling lama 4 tahun.
- Calo tiket juga dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda hingga penutupan usaha karena calo telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
- Calo tiket melanggar Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Nomor PM.74/HK.501/MPEK/2020 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penjualan Tiket Acara Hiburan.
- Calo penipuan tiket melanggar Peraturan Parekraf Nomor PM.74/HK.501/MPEK/2020 yang mengatur pengawasan dan pengendalian penjualan tiket acara hiburan karena telah melakukan penjualan tiket tanpa izin resmi atau memperjualbelikan tiket palsu.
Sekadar informasi, sanksi yang dapat diberikan berdasarkan Peraturan Parekraf bisa meliputi penutupan sementara atau permanen tempat penjualan tiket yang melanggar peraturan, pembatalan izin usaha, atau denda administratif.
Meski sudah diancam pidana hukuman penjara maupun denda, tetapi tetap saja calo ada di mana-mana dan merebak hingga media sosial.
3. Fenomena Baru Calo Online
Fenomena calo pun lambat laun bertransformasi hingga ke media sosial. Mereka tidak hanya menjual tiket secara offline, tetapi juga online yang bahkan berujung penipuan.
Di media sosial sendiri ada istilah Want to Buy (WTB) untuk para pencari tiket, serta Want to Sell (WTS) untuk menjual tiket.
Kemudian ada juga Want to Trade (WTB) untuk bertukar kategori tiket dengan biaya tambahan sesuai dengan kelas yang diinginakan, contoh ingin menukar kelas kategori A menjadi VIP.
Namun calo biasanya beraksi dengan embel-embel WTS, yang kemudian menjual tiket yang dimilikinya dengan harga tinggi.
WTS juga bisa berujung penipuan, dan sudah banyak terjadi di sejumlah event internasional termasuk Indonesia Open 2023, Timnas Indonesia vs Argentina maupun konser Coldplay.
Mereka biasanya melakukan penipuan dengan menyuruh calon pembeli mengirimkan uang pembelian tiket lalu memblokir kontak atau tidak memberikan respons apapun dan berganti nomor.
Selain itu calo juga melakukan aksinya lewat WTB, di mana mereka membeli tiket yang kemudian dijualnya dengan harga mahal.
Selain melalui media sosial, calo juga kini semakin pintar karena mampu mendapatkan banyak tiket karena tak hanya mengandalkan gadget canggih maupun internet yang kencang tetapi juga melalui mesin bot.
Scalping online atau calo online biasanya menggunakan bot scalper yang kinerjanya ialah untuk mengungguli konsumen asli untuk mendapatkan suatu barang seperti tiket yang dijual secara daring alias war tiket.
Bot scalper lebih cepat memasukan item yang dicari ke dalam keranjang mereka sehingga lebih mudah untuk mengamankan tiket.
Fenomena scalper atau calo sejatinya merupakan permasalahan di seluruh dunia, tetapi di beberapa negara di luar negeri memiliki aturan ketat untuk membasmi masalah tersebut.
Mengapa Negara Lain Bisa Berantas Calo?
Jika di Indonesia fenomena calo masih sulit diberantas, berbeda dengan negara lain yang memiliki aturan ketat soal permasalahan ini, salah satunya ialah Australia.
Laman Gotocourt Australia menjelaskan adanya aturan soal jumlah dan biaya perhitungan penjualan kembali tiket.
“Jika pemegang kembali menjual tiketnya ke acara besar dan lebih dari 10 persen di atas nilai nominal tiket tersebut maka akan disebut sebagai sebuah pelanggaran,” tulis pernyataan tersebut.
Untuk calo tiket personal yang menjual lebih dari enam tiket akan mendapatkan hukuman denda senilai AUD 9.913 atau setara dengan Rp94 juta. Sedangkan untuk calo tiket korporasi adalah denda sebesar AUD 49.566 (Rp508 juta).
Selain Australia, ada Taiwan yang juga memberikan aturan tegas untuk memberantas calo, setelah terdapat kasus meroketnya harga tiket konser BLACKPINK hingga 40 kali lipat.
Pemerintah Taiwan telah mengesahkan Amandemen Undang-Undang Pengembangan Industri Budaya dan Kreatif yang menyatakan bahwa siapa pun pihak yang terciduk membeli kemudian menjual tiket kembali dengan harga tinggi akan menghadapi hukuman tiga tahun penjara.
Selain itu pelaku juga bakal didenda dengan nominal 50 kali lipat dari harga tiket asli yang tentu diharapkan bisa memberikan efek jera.
"Orang-orang yang menggunakan informasi dan metode menyesatkan, termasuk algoritma online, untuk membeli tiket dalam jumlah besar untuk dijual kembali bisa dihukum penjara maksimal tiga tahun atau denda 3 juta NTD (Rp1,4 miliar).” tulis Liberty Times Taiwan.
Selain itu demi memberantas calo, pihak pemerintah Taiwan bekerja sama dengan kepolisan untuk memberikan hadiah bagi masyarakat yang membantu melaporkan adanya tindak percaloan tiket.
Pemerintah dan kepolisian setempat akan memberikan hadiah hingga 100 NTD atau setara Rp48 juta alias 20 persen dari jumlah denda pelaku.
Sayangnya, hal seperti ini belum diterapkan di Indonesia meskipun dalam hukum pidana telah diatur. Indonesia sudah sepatutnya mencontoh Australia maupun Taiwan yang memilih tegas dan punya cara lebih efektif/praktikal untuk memberantas calo sebelum makin subur di tengah antusias kawula muda dalam event olahraga dan konser musik.