Gelaran Indonesia Masters 2018 menjadi ajang pebulutangkis Indonesia untuk unjuk gigi. Tetapi hal itu nampaknya belum berlaku bagi nomor tunggal putri. Jika tunggal putra, ganda putra, ganda putri dan ganda campuran melenggang ke final, maka tidak demikian dengan tunggal putri.
Dari empat pebulutangkis yang diturunkan pada Indonesia Masters, yakni Fitriani, Hanna Ramadini, Dinar Dyah Ayustine, hingga Gregoria Mariska, hanya nama pertama yang mampu menembus babak kedua. Fitriani kalah dua set langsung 17-21 dan 16-21 ditangan pebulutangkis Thailand, Ratchanok Intanon, Kamis (23/01/18). Sedangkan, tiga rekan lainnya langsung keok di putaran pertama.
Hasil ini pun membuat kepala bidang pembinaan dan prestasi PBSI, Susi Susanti angkat bicara. Mantan juara Olimpiade 1992 itu mengatakan sektor tunggal putri memang jauh tertinggal. Jarak regenerasi yang terlalu jauh menjadi salah satu alasan di samping kurangnya pemain potensial.
"Terus terang untuk tunggal putri kita harus akui, dari semua sektor, tunggal putri yang paling tertinggal. Ini menjadi satu pekerjaan rumah. Kalau saya bilang, kita memang kurang bibit untuk putri karena kita pernah hilang satu generasi dan untuk menaikkan lagi memang butuh waktu," ucapnya.
- Lampaui Target di Indonesia Masters, PBSI: Ini Angin Segar Menuju Asian Games 2018
- Demi Sukses Asian Games, Ini Pesan Jusuf Kalla Pasca Indonesia Masters 2018
- Anthony Ginting Dedikasikan Gelar Juara Indonesia Masters Buat 2 Sosok Spesial
- Susul Anthony Ginting, Kevin/Marcus Raih Gelar Juara Indonesia Masters 2018
- Greysia/Apriyani Kalah dari Wakil Jepang di Final Indonesia Masters 2018
- Juarai Indonesia Masters, Tunggal Putri Taiwan Berterima Kasih kepada Penonton Indonesia
Tak hanya itu, Susi juga menyoroti terkait tidak adanya kemauan dari para pemain muda untuk berkerja dan latihan lebih keras. Menurutnya ada beberapa nama yang memiliki potensi, namun tak sepenuh hati menjalani latihan, begitu pula sebaliknya. Pola pikir ini yang harus diubah oleh semua pihak terutama PBSI sebagai federasi bulutangkis Tanah Air.
"Selain itu, bibit-bibit saat ini memang ada potensi tapi tidak ada kemauan. Yang lain ada kemauan tapi tidak ada potensi. Jadi, sebetulnya bakat dan kemauan itu beriringan dan itu yang menjadi tugas kita bagaimana mengubah mindset untuk menjadi atlet yang ulet, berani di lapangan. Itu yang kita cari. Bisa dilihat itu alasan dari hasil kita selalu kalah," urainya secara detail.
"Jadi sekarang tidak bisa santai, atau tawar-menawar saat latihan. Kita harus mengejar ketertinggalan, harus kerja keras. Tidak ada istilah santai, zona nyaman. Bisa kita lihat memang ada beberapa yang punya pengalaman tapi secara potensi memang masih kurang. Tapi itu masih bisa dimaksimalkan," tutup Susi Susanti.
Sebagai informasi, nomor tunggal putri Indonesia (khusus level senior) memang sudah cukup lama tidak meraih gelar juara, bahkan terhitung sudah belasan tahun lalu. Terakhir tercatat Ellen Angelina yang berhasil menjadi juara di Indonesia Open 2001 mengalahkan wakil Hong Kong, Wang Chen.
Sementara itu, untuk level junior, ada nama Gregoria Mariska yang mulai menunjukkan peningkatan performa. Pada 2017 lalu, atlet berusia 18 tahun itu mampu menjadi juara dunia junior 2017 setelah menang atas pebulutangkis China, Han Yue.