INDOSPORT.COM – Keberhasilan Kevin Sanjaya/Marcus Gideon dan Anthony Ginting dalam meraih sejumlah prestasi beberapa tahun ke belakang membuka mata kita kalau bulutangkis sudah memasuki era modern: badan mungil yang berjaya.
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan China yang tidak mampu meraih satu gelar pun di ajang All England 2020 lalu. 2 gelar berhasil diraih oleh Jepang, 1 milik Denmark, Chinese Taipei mengambil satu, sedangkan sisanya disabet Praveen Jordan/Melati Daeva.
Tidak adanya wakil China yang berhasil meraih gelar di All England 2020 membuat media dalam negeri mereka mencak-mencak. Salah satunya media asal China, Sina yang menyebut alasan mengapa prestasi bulutangkis negeri tirai bambu itu merosot tajam.
Padahal dulu ada masanya tim bulutangkis putri China begitu ditakuti sama halnya dengan Lin Dan di tunggal putra yang membuatnya masuk dalam jajaran 4 kaisar. Akan tetapi, China tampak seperti tenggelam oleh Jepang dan Indonesia.
Satu alasan yang dikemukakan oleh media China adalah bahwa mereka telah kehilangan pemain bulutangkis dengan tubuh mungil.
Saatnya Si Mungil Berjaya di Bulutangkis Era Modern
Di masa lalu, pemain bulutangkis bertubuh jangkung sangatlah ditakuti karena dianggap memiliki jangkauan dan langkah kaki yang sangat lebar. Oleh sebab itu di masa lalu, Denmark sempat merajai bulutangkis dunia berkat nama-nama tenar seperti Svend Pri yang dilanjutkan Peter Gade.
Namun memasuki era modern, China mulai memperkenalkan para pemain bulutangkis bertubuh mungil yang ternyata memiliki potensi mengimbangi si jangkung. China pun sempat mencetak para pebulutangkis handal bertubuh mungil seperti Li Xuerui dan Gao Ling.
Namun ternyata regenerasi di tim bulutangkis China tidak berjalan lancar dengan hilangnya para pemain mungil itu. Sebaliknya, para pemain mungil itu justru kini dimiliki oleh Jepang dan Indonesia sehingga wajarlah kalau mereka saat ini yang memimpin di bulutangkis tingkat dunia.
Tak perlu jauh-jauh, coba saja tengok All England kemarin di mana hanya Praveen Jordan dan Viktor Axelsen saja yang bertubuh jangkung. Sedangkan sisanya adalah pebulutangkis bertubuh mungil yang membela Jepang, Indonesia, dan Chinese Taipei.
Mulai dari Yuta Watanabe (165 cm), Hiroyuki Endo (172 cm), Yuki Fukushima (164 cm), Sayaka Hirota (170 cm), Melati Daeva (168 cm) dan Tai Tzu-ying (162 cm). Selain itu, pebulutangkis di level teratas saat ini juga rata-rata memiliki postur di bawah 175 cm.
Kento Momota yang saat ini menjadi tunggal putra nomor satu dunia hanya memiliki tinggi di kisaran 174 cm, begitupun dengan saingan beratnya yaitu Anthony Ginting (171 cm). Ganda putra Indonesia, Kevin Sanjaya bahkan hanya (170 cm), sedangkan Marcus Gideon (168 cm).
Bahkan jika merujuk pada julukan Kevin/Marcus yaitu The Minions, dapat kita simpulkan mereka diasosiasikan dengan tokoh kartun bertubuh mungil. Memang memiliki tubuh mungil, memiliki kelebihan yang tak didapatkan si jangkung.
Kelincahan menjadi poin penting mengapa si mungil kini merajai bulutangkis era modern karena kecepatan merupakan senjata pembunuh bagi si jangkung yang cenderung lambat. Lihat saja bagaimana Kevin/Marcus bermain.
Terutama Kevin Sanjaya yang bermain begitu cekatan karena dengan tubuh mungilnya, pergerakannya menjadi lebih ringan. Dengan pergerakan kaki yang cepat, membuat setiap jengkal lapangan pada akhirnya bisa diisi oleh Kevin Sanjaya sehingga kelemahan melawan si jangkung dapat ditutup.
Memang si jangkung memiliki langkah dan jangkauan lebar, tapi itu akan kalah dengan si mungil yang punya langkah kaki gesit nan lincah. Dan Anthony Ginting serta Kevin/Marcus menjadi salah satu contoh bagaimana si mungil adalah rajanya bulutangkis era modern.