INDOSPORT.COM - Meskipun sudah menjadi warga negara belanda, pebulutangkis Mia Audina selalu berprinsip untuk tidak pernah mau menyakiti hati rakyat Indonesia.
Bagi pencinta bulutangkis Indonesia, tentunya sudah tidak asing lagi dengan nama Mia Audina, yang pernah menjadi salah satu tunggal putri terbaik Indonesia selain Susi Susanti.
Sempat membela Tanah Air di berbagai turnamen, Mia Audina pada akhirnya beralih jadi membela Belanda setelah menikah dengan Tylio Lobman pada 30 Maret 1999, yang notabene warga negara Negeri Kincir Angin.
Melansir dari situs artikel sejarah Historia, selepas menikah dengan suaminya, Mia Audina tercatat absen lama dari pelatnas karena harus ikut pindah ke Belanda.
Sempat mengajukan permohonan tetap menjadi skuat pelatnas Indonesia walaupun berlatih di Belanda, keinginan Mia Audina ditolak mentah-mentah.
Karena masih ingin berkecimpung di dunia tepok bulu, Mia akhirnya memutuskan keluar dari skuad bulutangkis Indonesia dan menjadi bagian dari bulutangkis Negeri Kincir Angin.
Keputusan itu sangat disayangkan, mengingat banyak yang berharap Mia Audina bisa menjadi penerus Susi Susanti karena dianggap memiliki kualitas permainan yang baik dan mental yang sangat kuat di lapangan.
Terbukti, ketika diturunkan di partai terakhir pada final Piala Uber 1994 dan 1996, Mia Audina berhasil menjawab kepercayaan tersebut untuk mempersembahkan kemenangan bagi tim bulutangkis putri Indonesia.
Akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, Mia Audina memilih berpindah kewarganegaraan dan akhirnya resmi membela Belanda sejak tahun 2000 di turnamen internasional.
Kepergian Mia Audina ke Belanda itu pada akhirnya membuat bulutangkis Indonesia harus gigit jari, karena setelah kepergiaannya, generasi tunggal putri Tanah Air jadi kurang mentereng di banding nomor lain.
Tetapi menariknya, ketika banyak yang mencap dirinya sebagai 'pengkhianat', Mia Audina ternyata tetap menganggap kalau Indonesia merupakan tanah kelahirannya.
Apapun cerita yang terjadi pada saat itu, ia tetap tak bisa menyangkal kalau dirinya lahir dan besar di Indonesia. Tidak ada alasan yang tepat untuk membuat publik pecinta Tanah Air sakit hati ketika harus melihatnya bermain di bawah bendera lain.
“Terlalu sensitif. Bagaimanapun saya dulu dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia,” tuturnya dikutip Kompas, 16 Maret 2004 disadur dari Historia.