Legenda Bulutangkis Ungkap Kelemahan Tunggal Putri
Setelah era Susy Susanti, kejayaan tunggal putri berhenti di Mia Audina saat meraih medali perak Olimpiade Atlanta 1996. Bertahun-tahun kemudian, muncul Maria Kristin yang berhasil meraih medali perunggu di Olimpiade Beijing 2008. Setelah itu, tunggal putri Indonesia mengalami kemunduran dan tidak menggigit lagi.
"Saya prihatin dan geregetan karena dibanding zaman Susi dulu, gaya permainan lawan lebih susah dari sekarang," kata bintang bulu tangkis era 1980-an, Ivana Lie seperti dikutip dari Antara.
Pada Olimpiade Rio 2016, Lindaweni Fanetri meraih hasil mengecewakan setelah gagal melewati babak penyisihan.
"Kelemahan pemain tunggal putri kita itu ada pada sisi endurance (ketahanan). Endurance dan mental kadang-kadang berkaitan," tutur Ivana Lie.
"Kalau pemain kita main penuh di game pertama, maka di game kedua langsung menurun. Lalu kekurangan di ketahanan memengaruhi mentalnya. Otomatis dia jadi main ragu-ragu. Main reli panjang takut, lalu jadinya mau main cepat, kemudian tapi mati sendiri," jelasnya.
Ia menambahkan, tunggal putri Indonesia sebenarnya sudah memiliki kemampuan (skill) dan teknik yang baik. Tetapi, lanjutnya, tidak hanya itu yang dibutuhkan.
"Maka mereka harus mengejar dengan latihan keras untuk fisik dan teknik, mengubah gaya hidup dengan mengatur semua jam tidur dan jam makan," timpal Minarti Timur, pelatih tunggal putri PB Djarum yang pernah meraih medali perak Olimpiade Sydney 2000 pada nomor ganda campuran bersama Tri Kusharjanto.
Susy Susanti, peraih medali emas Barcelona 1992 dan medali perunggu Atlanta 1996, menambahkan bahwa tidak setiap generasi menelurkan pemain tunggal putri yang berbakat dengan semangat yang luar biasa.
"Setelah Mia, kita kosong. Untuk mengejar generasi berikutnya itu membutuhkan waktu yang panjang. Makanya kita jangan hanya mempersiapkan di lapis pertama saja lalu selanjutnya bolong. Tetapi harus berlapis-lapis," tegas Susy.