Pebulutangkis Indonesia Bersinar di Luar, Melempem di Dalam, Mitos atau Fakta?
Sebuah kejadian tidak terduga terjadi dalam ajang Indonesia Open 2017. Pasalnya, salah satu unggulan Indonesia untuk dapat merebut gelar juara di nomor tunggal putra, Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon langsung tersingkir di babak pertama.
Dalam pertandingan yang berlangsung di Jakarta Convention Center pada Rabu (14/06/17), Kevin/Marcus dipaksa menyerah oleh pasangan Kim Astrup/Anders Skaarup dengan skor akhir 16-21 dan 16-21.
Kekalahan Kevin/Marcus itu pun sangat di luar harapan. Bagaimana tidak, di turnamen-turnamen sebelumnya, pasangan yang dijuluki dua minion tersebut mampu membuat kejutan dengan meraih hattrick gelar juara.
Baca Juga |
Ya, sebelum terhenti di babak semifinal Singapore Open 2017, Kevin/Marcus sudah lebih dulu berhasil merebut gelar juara di ajang All England 2017, India Open 2017, dan Malaysia Open 2017.
Keberhasilan merebut gelar juara tersebut pun membuat peringkat keduanya naik tajam hingga akhirnya menduduki peringkat pertama, mengungguli Mathias Boe/Carsten Mogensen (Denmark) dan Li Junhui/Liu Yuchen (China).
Namun, seluruh kiprah yang mentereng tersebut seolah sirna setelah keduanya gagal mempersembahkan gelar juara di hadapan banyak masyarakat Indonesia yang menyaksikan mereka secara langsung.
Melihat hal itu, INDOSPORT coba mengungkap tabir di balik nasib buruk para pebulutangkis Indonesia yang seolah kehilangan kekuatannya saat tampil di hadapan publik sendiri.
1. Bukan Cuma Kevin/Marcus
Kekalahan Kevin/Marcus di babak pertama ajang Indonesia Open 2017 memang mengejutkan banyak orang. Pasalnya, di saat bertanding di negara lain, Kevin/Marcus berhasil meraih gelar juara, sedangkan ketika bermain di negara sendiri justru harus menelan kegagalan.
Hasil buruk itu Kevin/Marcus itu pun seperti menambah panjang daftar pebulutangkis Indonesia yang memiliki prestasi gemilang di negara lain, namun secara mengejutkan harus menanggung malu di hadapan publik sendiri.
Ya, untuk kasus ini Kevin/Marcus memang tidak sendirian. Terdapat sejumlah jagoan-jagoan tepok bulu Tanah Air yang tercatat belum pernah meraih gelar juara di Indonesia Open, tapi punya gelar juara saat tampil di negara lain.
Contohnya seperti pasangan ganda campuran Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Pasangan yang biasa dipanggil Owi/Butet ini membuat kejutan saat berhasil merebut gelar juara di Kejuaraan Dunia 2013 yang berlangsung di China.
Namun, kiprah keduanya gagal kembali terulang saat Kejuraan Dunia 2015 yang berlangsung di Jakarta, Indonesia. Berhadapan dengan Zhang Nan/Zhao Yunlei di semifinal, Owi/Butet tunduk dengan skor akhir 22-20, 21-23, dan 12-21.
Sejak dipasangkan pada 2009 lalu, Owi/Butet memang sudah banyak merebut gelar juara, termasuk medali emas Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil. Sayangnya, meski telah banyak meraih banyak gelar, keduanya tercatat belum pernah merasakan gelar juara Indonesia Open.
Dua kali menembus babak final Indonesia Open (2011 dan 2012), Owi/Butet selalu menemui kegagalan untuk memegang trofi juara. Di Indonesia Open 2016 lalu saja, mereka sudah tersingkir di babak kedua meski terdaftar sebagai unggulan kedua untuk menjadi juara.
Hal serupa juga dirasakan oleh pasangan ganda campuran lainnya, yakni Praveen Jordan/Debby Susanto. Saat menjuarai ajang All England 2016, keduanya sangat diharapkan untuk merebut gelar juara.
Namun, alih-alih merebut gelar juara, Praveen/Debby yang pernah menduduki peringkat dua dunia justru tersingkir di babak pertama oleh wakil China, Lu Kai/Huang Yaqiong dari China.
Kejadian sama pun kembali diulang keduanya di ajang Indonesia Open 2017, setelah ditaklukan pasangan Denmark, Mathias Christiansen/Sara Thygesen dengan skor akhir 21-15, 15-21, dan 19-21.
Rentetan kegagalan-kegagalan itu pun membuat sudah hampir tiga tahun tidak ada pebulutangkis Indonesia yang tidak pernah mengangkat trofi juara di negeri sendiri.
2. Gagal Karena Terlena
Saat memiliki banyak prestasi, seseorang tentunya akan memiliki rasa bangga terhadap dirinya sendiri. Hal ini bisa dibilang sesuatu yang wajar dan hampir pasti dialami oleh seluruh manusia di dunia.
Namun, kebanggaan yang berlebihan pada diri sendiri ini bisa berbahaya dan nantinya dikenal dengan istilah narsisme, yakni perasaan cinta yang berlebihan terhadap diri sendiri.
Istilah narsisme ini sendiri pertama kali dikenalkan oleh tokoh psikologi terkemuka asal Austria, Sigmund Freud. Dalam bukunya On Narcissism: An Introduction yang terbit 1914 silam, Sigmund mengambil contoh mitos Yunani, Narkissos sebagai salah satu akibat buruk sikap mencintai diri sendiri yang berlebihan.
Dalam kisahnya, Narkissos begitu mencintai dirinya sendiri, hingga akhirnya ia tenggelam lantaran terus memandangi bayangan wajahnya yang berasal dari pantulan kolam.
Berkaca dari ajaran Sigmund tersebut, para pebulutangkis Indonesia bisa jadi tengah mengalami sindrome narsisme.
Keberhasilan meraih gelar juara yang banyak saat bertanding di negera lain mulai membuat terlena saat bermain di negara sendiri. Hal itu membuat mereka bisa saja menganggap remeh lawan dan menjadi tidak siap bila lawan melakukan strategi baru usai mempelajari pola permainan mereka.
Contohnya bila melihat permainan Kevin/Marcus di babak pertama Indonesia Open 2017. Terlepas dari kondisi Kevin yang tengah cedera, pasangan berjuluk duo minion itu kerap melakukan kesalahan sendiri yang jelas menguntungkan lawannya.
Sikap sombong karena kebanggaan berlebihan ini lah yang perlu dihilangkan dari benak para pebulutangkis Indonesia, bila ingin mengakhiri puasa gelar juara di negeri sendiri.
Legenda bulutangkis Indonesia, Tan Joe Hok pernah mengatakan bahwa diri sendiri merupakan lawan tersulit yang harus ditakulukan para pebulutangkis Indonesia bila ingin terus berprestasi.
"Kalau dilihat, secara basic teknik permainan bulutangkis mereka cukup bagus. Tapi, masalahnya mereka punya kemauan gak? ‘Saya mau! Saya Bisa! Saya mau latihan keras dan benar!’ Ada gak yang seperti itu?” ujar Tan saat diwawancarai awak INDOSPORT.
“Semua itu balik lagi kepada pemainnya masing-masing, kamu mau jadi jago gak? Kalo mau jadi jago harganya sangat mahal sekali, kamu harus bisa mengatasi segala-galanya. Terutama mengatasi diri sendiri ya,” tambah orang Indonesia pertama yang meraih gelar juara All England itu.
3. Dukungan Jadi Tekanan
Penonton merupakan salah unsur terpenting dalam sebuah pertandingan. Tanpa kehadiran penonton, sebuah pertandingan tentu menjadi sepi dan tidak bergairah.
Saking pentingnya, dalam olahraga sepakbola, penonton bahkan disebut sebagai pemain ke-12 dari salah satu tim yang bertanding. Hal serupa juga terjadi dalam pertandingan bulutangkis.
Mendapat dukungan dari penonton terkadang dapat menambah semangat para pemain untuk memenangkan pertandingan. Namun, dukungan penonton itu juga bisa menjadi pedang bermata dua.
Di saat bersamaan, dukungan penonton bisa menjadi tekanan sendiri bagi pemain dan berakibat membuat permainan mereka menjadi tidak lepas. Hal inilah yang mungkin dialami oleh pebulutangkis Tanah Air saat berlaga di Indonesia Open.
Alih-alih mengubah dukungan penonton menjadi tambahan semangat, mereka justru bermain lebih hati-hati dan tidak lepas lantaran takut bermain mengecewakan.
Hal ini pun bertolak belakang dengan pernyataan mantan pebulutangkis Indonesia, Rexy Mainaky pada 2015 lalu.
"Terkait status tuan rumah, semua pemain sudah sadar akan hal itu dan tentunya hal ini tak akan bisa dihindari."
"Dengan level pemain yang dimiliki, jelas bukanlah sebuah alasan bila status tuan rumah justru membuat mereka tak bisa menampilkan performa terbaik lantaran bermain dengan penuh tekanan," kata Rexy seperti dikutip dari CNN Indonesia.