Apa yang Dialami dan Didapat Atlet Binaan PB Djarum?
INDOSPORT.COM - Bolak-balik Semarang-Jakarta-Semarang tanpa kenal lelah demi mengejar mimpinya menjadi seorang atlet bulutangkis, menjadi sebuah pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan oleh Yuni Kartika.
Wanita yang kini berusia 46 tahun itu merupakan salah satu atlet andal yang pernah dimiliki Indonesia, hasil didikan PB Djarum lewat program beasiswa bulutangkis.
Lantas bagaimana perjuangan Yuni Kartika bisa memperoleh beasiswa tersebut? Ia pun menceritakan sedikit proses yang dilaluinya kepada redaksi berita olahraga INDOSPORT.
Pada 1985 silam, Yuni Kartika yang kala itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas 6 datang ke Jakarta, bersama keluarganya untuk mengikuti audisi umum beasiswa Djarum.
Setibanya di Jakarta, Yuni harus bersaing dengan sekitar seribuan anak yang juga bermimpi mendapatkan beasiswa dan menjadi seorang atlet bulutangkis.
Yuni bersama peserta lainnya, terlebih dahulu harus melalui tahap awal yakni serangkaian tes seperti tes tertulis maupun tes fisik sebelum menunjukan kebolehannya bermain bulutangkis.
"Audisi saat itu berbeda ya dengan sekarang. Jadi waktu itu modelnya saya dites, misalkan pertama tes psikolog kalau sekarang psikotes kali ya," ujar Yuni Kartika melalui sambungan telepon.
"Habis itu kita pulang lagi ke kampung. Kalau lolos tes nanti dikasih surat, dan diminta balik lagi. Jadi saya bolak-balik itu sampai berapa kali untuk mengikuti tes," sambungnya.
Singkat cerita, Yuni Kartika lolos serangkaian tes bersama 11 orang lainnya. Total, saat itu PB Djarum hanya menerima 12 anak dari audisi di Jakarta.
"Setelah lolos, saya dibina di PB Djarum Jakarta. Setelah tiga tahun, saya lalu dipindah ke Semarang karena di Kudus hanya untuk atlet laki-laki. Jadi saat itu dipisah antara perempuan dengan laki-laki, kita (perempuan) di Semarang dan mereka (laki-laki) di Kudus," tuturnya.
Ibu dari tiga anak ini dibina PB Djarum kurang lebih selama empat tahun, atau saat sampai kelas 1 SMA. "Setelah itu, saya masuk pelatnas. Saya cepat ditarik, karena saat usia 15 tahun sudah juara dunia junior."
Mantan tunggal putri yang pernah meraih gelar juara Jerman Open Junior 1990 ini juga tidak lupa menggambarkan sedikit, bagaimana kehidupan seorang atlet binaan PB Djarum.
Selama di asrama, Yuni Kartika ditempa menjadi pribadi yang mandiri, disiplin, berkarakter dan berdaya juang tinggi. Hal itu didapat dari ketatnya pembinaan yang dilakukan oleh PB Djarum, mulai dari jam tidur, makan, hingga latihan.
"Di sana kehidupannya sangat teratur dan disiplin. Kita latihan enam kali dalam seminggu mulai dari hari Senin sampai Sabtu. Minggu libur," katanya.
Selain fokus membina menjadi seorang atlet, pihak PB Djarum juga tidak melupakan kewajibannya memberikan hak pendidikan kepada semua anak binaannya yang mendapat beasiswa.
"Di sana pendidikan sangat utama. Kita semua disekolahkan, tapi bukan sekolah atlet saat itu melainkan sekolah formal biasa," ujarnya.
"Selain itu, PB Djarum juga sangat memperhatikan prestasi pendidikan kita. Itu yang membuat kita terasa berat. Berjuang untuk menjadi atlet, dituntut juga berprestasi di sekolah."
"Karena mereka sadar, di PB Djarum belum tentu semua anak bisa jadi bintang dan masuk pelatnas. Jadi andai gagal dan lulus dari program ini, jadi bisa nerusin pendidikan formalnya di luar gitu," papar Yuni Kartika.
Keterjaminan fasilitas dan kehidupan yang ada di PB Djarum dalam membina atletnya, membuat Yuni Kartika menyangkan audisi beasiswa ini sempat bakal terhenti pada 2020 mendatang.
Penyebabnya karena PB Djarum dituding telah melakukan eksploitasi terhadap anak, dan melanggar Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Peraturan Pemerintah No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
"Sangat disayangkan ya dengan adanya polemik ini. Sebab, berimbas terhadap terhentinya pencarian bakat, dan sama saja dengan memutus mata rantai," ujar Yuni.
Sementara itu, dalam proses perekrutan atlet dari audisi ini, pihak PB Djarum sama sekali tidak memungut biaya sepeserpun. Bahkan, pihaknya malah memberikan subsidi kepada para peserta yang lolos ke final di Kudus.
"Setiap anak yang lolos ke final di Kudus dapat subsidi. Misalnya ada anak yang lolos audisi di luar pulau Jawa, Manado misalkan, itu dapat uang Rp2 juta untuk datang ke Kudus bertanding di final," kata Yoppy Rosimin selaku Direktur Program Bakti Olahraga Djarum Foundation kepada INDOSPORT.
"Tapi kalau di pulau Jawa, itu 1 juta. Subsidi itu diberikan sebagai pengganti uang transport. Setelah di final nanti juara, mereka akan dikarantina."
"Setelah lulus, baru diberi beasiswa full. Semuanya terjamin di asrama, mulai dari makan, peralatan, pendidikan, diikuti turnamen," beber Yuni Kartika.