3 Kontroversi Presiden BWF: Aturan Merugikan hingga All England 2020
INDOSPORT. COM - Sejumlah kebijakan Presiden Federasi Bulutangksi Dunia (BWF), Poul Erik Hoyer Larsen, diketahui pernah menimbulkan kontroversi yang menghebohkan publik.
Sudah sepantasnya Poul Erik Hoyer selaku Presiden BWF, memikirkan perkembangan jagat bulutangkis dunia. Poul Erik Hoyer pasti bertanggung jawab membuat kebijakan yang memajukan cabang olahraga bulutangkis.
Namun, tak selamanya keputusan Poul Erik Hoyer berjalan mulus. Ada saja sikap Poul Erik Hoyer yang membuat geram para pebulutangkis ataupun penggemar.
Setidaknya, Poul Erik Hoyer tertangkap pernah menciptakan tiga kebijakan kontroversial. Salah satunya tentang gelaran All England 2020.
Lalu, apa sajakah kontroversi yang pernah dibuat oleh Presiden BWF tersebut? INDOSPORT coba merangkumnya ke dalam ulasan berikut.
Peraturan Poin
Presiden Federasi Bulutangksi Dunia (BWF), Poul Erik Hoyer Larsen, pernah berencana membuat bulutangkis kembali menggunakan sistem 11 poin. Rencana itu kabarnya bakal direalisasikan Poul Erik Hoyer Larsen tahun depan.
Alasan utama Poul Erik Hoyer Larsen membuat wacana tersebut, setelah melihat perjuangan tim Denmark di ajang Piala Sudirman 2019. Denmark kala itu bermain hampir selama tujuh jam dalam babak penyisihan.
Menurut Poul Erik Hoyer Larsen, kejadian itu menjadikan pertandingan bulutangkis dengan sistem 21 poin terlalu kaku. Jika terus dipertahankan, bulutangkis kemungkinan besar akan cepat kehilangan daya tarik.
"Saya ingin mengubah sistem penilaian yang ada. Kami terlalu konservatif sekarang, menyebabkan bulutangkis berdiri diam," ujar Larsen dikutip dari media Sports Sina.
Andai rencana Larsen terwujud, sistem 11 poin sepertinya bakal lebih menguntungkan pebulutangkis Eropa, yang bertipikal menyerang. Sementara bagi pebulutangkis Asia yang khas sekali dengan teknik bertahan mumpuni, pergerakannya bakal lebih terbatas.
All England 2020
All England 2020 menjadi kebijakan kontroversi lainnya dari Presiden Federasi Bulutangksi Dunia (BWF), Poul Erik Hoyer Larsen. Memang All England jadi kompetisi wajib digelar BWF tiap tahunnya, tapi khusus 2020, perhelatannya menimbulkan keresahan.
Bagaimana tidak, All England 2020 terselenggara sekitar tanggal 11 Maret sampai 15 Mare lalu. Padahal kala itu, dunia sudah mulai terserang dengan bahaya pandemi virus corona.
Larsen selaku Presiden BWF, dianggap tak memikirkan keselamatan atlet bulutangkis. Kritikan pedas pun berdatangan kepada Larsen dan panitia penyelenggara All England 2020.
Peraih medali perunggu Olimpiade London 2012, Saina Nehwal, yang juga merupakan pemain andalan India, mengecam panitia penyelenggara tournamen All England 2020. Saina Nehwal melancarkan kritikan melalui akun Twitter pribadinya.
“Satu-satunya hal yang bisa saya pikirkan adalah bahwa kesejahteraan dan perasaan pemain lebih penting dari alasan keuangan. Kalau tidak, tidak ada alasan lain untuk #AllEnglandOpen2020 berlangsung minggu lalu,” tulis Saina Nehwal.
Peraturan Servis
BWF pada 2018 lalu, meluncurkan peraturan baru soal servis. Setiap pebulutangkis, wajib mematuhi batasan tertinggi servis menjadi 115 cm.
Aturan ini berarti, pertemuan bola dengan raket ketika servis, tidak boleh lebih tinggi dari 115 cm. Sebelumnya, peraturan batasan tinggi servis hanya disesuaikan dengan bentuk tubuh masing-masing atlet, yakni sejajar rusuk terbawah.
Peraturan anyar soal servis yang dibuat BWF, pertama kali dicoba di ajang All England 2018. Ketika isu peraturan servis muncul ke permukaan, kritikan muncul dari beberapa pebulutangkis.
Salah satunya datang dari pebulutangkis tunggal putra Denmark, Viktor Axelsen. Tanpa ragu, Viktor Axelsen menentang keras aturan servis baru yang diluncurkan BWF.
"Saya pikir itu adalah aturan yang konyol. Mungkin di nomor ganda putra aturan servis kerap bermasalah, tapi tidak akan selesai pula apabila yang diubah cuma soal ketinggiannya saja," ujar Viktor Axelsen seperti dikutip dari Firstsports.