3 Masalah Besar yang Bikin Asia Open Sebaiknya Dibatalkan Saja
INDOSPORT.COM - Para pencinta bulutangkis tampaknya harus bersabar lebih lama untuk menyaksikan lagi kiprah para bintang-bintang tepok bulu dunia. Pasalnya setelah batalnya Piala Thomas dan Uber tahun ini, turnamen Asia Open yang sudah diantisipasi sepertinya juga urung terlaksana.
Setelah Piala Thomas dan Uber yang seharusnya diadakan 3 Oktober lalu di Denmark, negara Eropa itu dijadwalkan menyelenggarakan Denmark Open (13-18 Oktober) dan Denmark Masters (20-25 Oktober).
Itu pun Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) akhirnya membatalkan Denmark Masters. Kini BWF tengah menggodok keputusan untuk dua turnamen selanjutnya, yakni Asia Open I yang dijadwalkan 10-15 November dan Asia Open II pada 17-22 November 2020.
Salah satu pengurus PBSI, Bambang Roedyanto pada Senin (21/09/20) pagi ini membuat cuitan di akun twitternya bahwa akan ada pertemuan sore atau malam nanti untuk membahas nasib Asia Open.
Namun melihat belum sigapnya BWF dalam mengambil sikap, penyelenggaraan kedua leg Asia Open ini juga terancam. Setidaknya ada tiga masalah besar yang masih menghantui dan membuat turnamen berhadiah total 1 juta dolar itu sebaiknya dibatalkan saja.
Tak Ada Tuan Rumah yang Layak
Masalah terbesar soal Asia Open yang tinggal dua bulan lagi adalah belum terpilihnya tuan rumah. Asia yang menjadi pusat kekuatan bulutangkis dunia, sayangnya juga menjadi wilayah yang masih parah terkena dampak pandemi virus corona atau covid-19.
Dua power house bulutangkis Asia yakni China dan Indonesia sudah dipastikan tak akan menjadi tuan rumah.
Pada Agustus lalu, Administrasi Umum Olahraga China mengeluarkan pernyataan bahwa Negeri Tirai Bambu tidak akan menjadi tuan rumah acara internasional pada tahun ini, sebagaimana dilaporkan Sports Sina.
Kemudian Indonesia juga menarik diri untuk menjadi tuan rumah setelah PBSI mengeluarkan rilis pada 13 September lalu.
"Selain karena kondisi Covid-19 di Indonesia, banyak calon negara peserta yang menolak untuk datang ke Indonesia, banyak juga negara yang sudah melarang warganya untuk bepergian ke Indonesia," kata Sekretaris Jenderal PP PBSI, Achmad Budiharto.
"Melihat reaksi dari calon negara peserta, BWF kelihatannya akan menarik penawarannya dari Indonesia sebagai tuan rumah turnamen seri Asia, karena itu kami mengambil sikap untuk segera membatalkan rencana jadi tuan rumah, " lanjutnya.
Thailand sempat mengajukan diri untuk menyelenggarakan turnamen Super 1000 itu. Namun selain pandemi corona yang masih mengancam, Negeri Gajah Putih tengah panas karena situasi politiknya.
Antara melaporkan, unjuk rasa besar-besaran dilakukan warga di jalanan Kota Bangkok untuk mendesak pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, perubahan konstitusi, dan pemilihan umum yang baru. Bahkan Parit "Penguin" Chiwarak, salah satu tokoh massa aksi, meyakini ada sekitar 100.000 orang yang akan ikut demonstrasi.
Pada 2014 silam, turnamen bulutangkis Thailand Open juga dibatalkan karena krisis politik yang saat itu dikhawatirkan turut mengancam keamanan atlet dan seluruh pihak yang terlibat.
1. BWF Tak Cergas
Sejak masa pandemi corona dimulai, BWF seperti kurang cergas dalam mengeluarkan kebijakan. Seperti saat kukuh menyelenggarakan All England pada Maret lalu, sederet pebulutangkis top dari India dan Denmark melayangkan protes keras pada BWF yang nekat mengadakan turnamen di tengah pandemi.
Pun dengan penyelenggaraan Piala Thomas dan Uber yang mundur beberapa kali hingga akhirnya dibatalkan setelah banyak negara yang undur diri.
Hingga kini, BWF juga belum transparan dengan bagaimana protokol kesehatan dan keamanan selama turnamen nanti. Tidak seperti NBA atau tenis misalnya, yang berinisiatif menciptakan 'bubble' untuk pemain dan staf selama turnamen.
Alhasil, BWF menjadi bulan-bulanan para pebulutangkis, seperti deretan pemain Denmark yang memang dikenal vokal menyuarakan pendapatnya.
Anders Antonsen misalnya, yang mempertanyakan rencana BWF untuk menyelenggarakan turnamen ke depannya. "Apa rencananya? Haruskah kami duduk-duduk dan menunggu vaksin sebelum bisa main bulutangkis lagi?" tulis Antonsen lewat Instagramnya.
Rekan senegaranya, Anders Skaarup Rasmussen, juga melayangkan sindiran lewat Instagram Story. Mengutip Smashing News, Rasmussen mempertanyakan akun sosial media BWF yang bukannya menyediakan info soal turnamen, malah membuat voting soal pertandingan yang berlangsung pada 2012 silam.
Pemain Bintang Ragu-ragu
Salah satu faktor yang membuat turnamen bulutangkis menarik adalah partisipasi para pemain bintang. Namun jika para atletnya saja banyak yang masih bimbang untuk ikut, keberlangsungan turnamen sekelas Asia Open yang berlevel Super 1000 ini juga terancam.
Seperti mengutip pernyataan Subid Hubungan Luar Negeri PBSI, Bambang Roedyanto, yang mengatakan partisipasi pemain top adalah kunci jadi atau tidaknya Asia Open diadakan.
Padahal, para pemain bulutangkis top sejak awal juga tidak ragu-ragu untuk melayangkan kritik atau memilih mundur dari turnamen besar jika keamanan mereka tak terjamin.
Seperti mantan tunggal putra nomor satu dunia, Viktor Axelsen, yang tak sungkan menyarankan pemain Malaysia, Lee Zii Jia untuk tak ikut Piala Thomas di Denmark, sebagaimana diberitakan Stadium Astro. Pasalnya, Axelsen sendiri juga masih mengkhawatirkan kondisi pandemi di negaranya yang mencatat rekor kasus positif tertinggi di bulan September ini.
Melihat tiga masalah besar di atas, bukan tak mungkin Asia Open bernasib sama dengan turnamen-turnamen bulutangkis lainnya yang terpaksa dibatalkan.