Matahari saat itu sudah meninggi. Teriknya menyirami ribuan penonton yang kala itu sesaki Stadion Rose Bowl, Amerika Serikat, tempat berlangsungnya final Piala Dunia 1994.
Tidak hanya di Stadion Rose Bowl, jutaan pasang mata kala itu pun membeku pandangi televisi menunggu siapa yang bakal keluar sebagai juara dunia, Brasil atau Italia.
Jual beli serangan tersaji selama pertandingan. Sayang tidak ada gol yang tercipta. Wasit asal Hungaria, Sandor Puhl terpaksa harus melanjutkan pertandingan sampai babak penalti karena hingga babak tambahan waktu tak ada gol yang dihasikan oleh pemain kedua negara.
Gli Azzuri sempat diatas angin saat penendang pertama Brasil, Marcio Santos, gagal lesakan bola ke gawang. Petaka datang untuk Italia saat penendang keempat setelah Daniele Massaro gagal, maju sebagai algojo.
Penendang keempat itu ialah penyerang yang kala itu dianggap sebagai penyerang terbaik Italia. Dengan rambut kuncir kuda, pemain bernomor punggung 10 itu melangkah. Taffarel dengan gagah berani menghadapinya.
Dunia runtuh seketika saat itu untuk si pemain yang bernama lengkap Roberto Baggio. Bola melambung sangat tinggi dan melampangkan jalan Brasil raih gelar Piala Dunianya keempat.
Baggio jadi publik enemy seluruh pelosok Italia termasuk pelatih di klubnya saat itu, Marcello Lippi.
Kedua pria ini pun menjadi musuh, tak pernah terselesaikan. Hubungan keduanya layaknya sebuah Pizza yang teronggok lama di sebuah lemari es. Dingin namun tetap menggoda untuk dimakan (diulas).
Apa pangkal masalah kedua orang yang layak disebut sebagai legenda hidup sepakbola Italia tersebut dan bagaimana hubungannya saat ini? berikut ulasannya untuk pembaca setia INDOSPORT: