Geliat Sepakbola di Tapal Batas, Bertahan untuk Prestasi di Himpitan Keterbatasan
Indonesia bagian timur dikenal memiliki talenta berbakat yang selalu mengisi Timnas Indonesia. Hal ini pula yang mendorong sejumlah orang untuk terus meningkatkan infrastruktur sepakbola di daerah perbatasan negara lain, salah satunya ialah daerah di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste.
Sejumlah Sekolah Sepakbola (SSB) pun didirikan oleh sejumlah pihak, seperti dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pada November 2015 silam, dibangun Sekolah Sepak Bola (SSB) Perbatasan di Atambua, Belu. SSB yang akan dibangun, bekerjasama dengan Ketua Asosiasi Sekolah Sepakbola Indonesia (ASSBI) dan juga sejumlah pemerhati sepakbola nasional, diantaranya, Ketua ASSBI, Amarta Imron, Dwi Pranayuda, dan Zulfikar Utama.
Dilansir dari wartaandalas.com, selain membangun SSB, ada sejumlah kegiatan yang dilaksanakan demi membangun sepakbola di Atambua.
Training of Trainer (TOT) bagi para pelatih sepakbola dan edukasi (coach education) untuk seluruh guru olahraga, kedua penyelenggaraan festival sepakbola usia dini 12 tahun ke bawah untuk mendukung program grassroots FIFA dibarengi dengan identifikasi database kemampuan, penilaian, dan rapor bagi para pesepakbola, ketiga dilakukan homebase bagi pesepakbola untuk memantau bakat dengan menggelar sekolah privat dan les tambahan serta keempat pembentukan komisariat daerah sebagai wadah sekolah sepakbola jangka panjang.
Hal ini tentu jadi angin segar untuk sepakbola Atambua. Pasalnya sejak Timor Leste lepas dari pangkuan Indonesia, Atambua jadi daerah yang berdampak. Salah satu dampaknya ialah matinya sepakbola di daerah ini.
Padahal di daerah ini terdapat Stadion Haliwen. Dulu stadion ini sempat digadang-gadang sebagai stadion terbesar. Saat ini seperti laporan dari rizkizulfitri-kiena.blogspot.co.id, hanya tinggal besi dan beton tua yang menghitung hari untuk roboh.
Jika ditilik secara sejarah, stadion yang hanya berjarak sekitar 15 menit perjalanan dari pusat kota Atambua ini, menjadi saksi bisu kepahitan politik masa lalu. Konon, Stadion Haliwen menjadi tempat pengungsian ribuan warga eks Timor Timur (Timtim), yang memilih pro integrasi, setia menjadi Warga Negara Indonesia pada masa Jajak Pendapat di Timtim tahun 1999 silam.
"Di sini dulu banyak orang buka tenda di lapangan, mereka tetap mau jadi orang Indonesia tapi belum mau tinggal di mana, jadi mereka pilih tinggal di stadion," tambah kakek yang bekerja sebagai buruh tani tersebut. Konon Pak Frans adalah seorang pro integrasi, memilih hidup di sekitar Stadion Haliwen. Rasa cintanya terhadap negeri ini jangan ditanyakan lagi walaupun hidup dalam garis kemiskinan.