Cengkeraman Mafia di Sepakbola Italia, Kisah Tragis dan Upaya Perlawanan
Nama Paolo Rossi tentu sangat familiar bagi pencinta sepakbola Italia. Rossi diberi label oleh banyak orang sebagai pahlawan dari kegelapan, pasalnya sebagai pesepakbola ia bertautan dengan kelompok mafia, akibatnya ia jadi pelaku match fixing pada 1980.
Kasus dari Paolo Rossi ialah satu dari sekian banyak aksi-aksi bengis para mafia ke pesepakbola Italia. Rossi setidaknya masih beruntung hanya mendapat sanksi dua tahun dari federasi sepakbola Italia karena keterlibatannya.
Aksi lebih liar dan bengis dilakukan para mafia, seperti kasus klub Giugliano FC misalnya, klub ini ternyata tidak hanya jadi klub sepakbola, namun jadi gudang senjata kelompok mafia. Senjata-senjata itu disimpan rapi di dalam stadion klub, Stadion Boys Caivanese Calcio.
Tidak hanya pemain dan klub yang jadi imbas, korp pengadil pun tak ketinggalan 'dirangkul' oleh para mafia. Paolo Zimmaro, pria berprofesi wasit ini mendapat hukuman 20 tahun dilarang aktif di sepakbola Italia. Mengapa Zimmaro mendapat hukuman selama itu?
Usut punya usut, Zimmaro saat akan memimpin pertandingan meminta para pemain untuk mengheningkan cipta selama satu menit. Ternyata aksi mengheningkan cipta itu ditujukan Zimmaro untuk kematian salah satu gembong mafia, Carmine Arena yang tewas karena perang antar mafia pada 2004 lalu.
Dan tentu saja yang paling tragis yang dialami oleh Giovanni Montani. Montani tewas pada 29 Oktober 2006 lalu itu merupakan korban dari keganasan mafia yang masih memiliki kuasa di sepakbola Italia.
Tewasnya Montani seolah tidak membuat mafia diberantas tuntas, kasus teranyar Renato Di Giovanni tentu jadi perhatian tersendiri. Meski belum ada pernyataan resmi dari pihak aparat apakah ini ada hubungannya dengan para mafia, namun ada kesamaan kronologis dari tewasnya dua pemain muda Italia ini.