Sosok Thamrin yang lahir di Sawah Besar 16 Februari 1894, menjadi politisi yang sangat peduli dengan nasib warga Betawi. Ia selalu memperjuangkan kepentingan warga Betawi di Gemeente (Dewan Kota) Batavia dan Volksraad (Dewan Rakyat).
Thamrin menjadi sosok yang keras dengan Belanda ketika timbul rencana untuk membangun komplek perumahan mewah di kawasan Menteng. Thamrin lebih menyoroti bagaimana pembangunan kampung-kampung orang Betawi yang masih sering terkena banjir saat hujan besar turun.
Fokus Thamrin memang menyasar ke kesejahteraan warga pribumi. Maklum saja, Belanda memang mengkastakan warga Betawi dan pribumi menjadi masyarakat golongan kelas bawah. Masyarakat Eropa menjadi warga kelas satu yang sering kali menikmati fasilitas mewah di kota Batavia.
Fasilitas yang dinikmati penjajah tak hanya menyangkut lingkup ekonomi saja, tapi olahraga pun menjadi hal yang sulit dinikmati secara bebas oleh warga pribumi.
Ambil contoh, warga Eropa punya lapangan sepakbola di daerah Waterloo Plain atau lazim saat ini disebut dengan Gambir. Beberapa klub berbasis warga Eropa, seperti BVC dan Hercules pun dengan tenang bermukim di kawasan tersebut. Ada juga klub Vios yang bermukim di kawasan elite, Menteng. Konon tak sembarang orang pribumi bisa masuk ke Lapangan Vios yang kini menjadi Taman Menteng.
Lalu, warga Tionghoa juga menempati lapangan di daerah Pecinan. Klub Union Makes Strength (UMS), menempati Lapangan Petak Sinkian di kawasan Glodok. Klub Chung Hua yang kini dikenal Tunas Jaya, menempati Lapangan Jenderal Urip di Jatinegara sebelum menempati Lapangan Taman Sari.
“Dulu memang MH Thamrin begitu peduli dengan keberadaan warga Betawi. Beliau tak segan menentang kebijakan Belanda yang berpihak kepada kaum ‘atas’. Termasuk juga perhatian beliau kepada olahraga, khususnya sepakbola.” cerita Untung Supardi, penjaga Museum Thamrin yang berasal dari daerah Jatinegara Kaum, Jakarta Timur.
Tahun 1928, dua warga pribumi, yakni Soeri dan Alie mendirikan bond sepakbola lokal pertama di Jakarta bernama Voetbalbond Indonesia Jacatra yang di masa ini dikenal dengan nama Persija Jakarta.
Soeri dan Alie tak mau memakai nama Batavia dan memilih menggunakan Jacatra atau Jakarta sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial. VIJ pun berkembang pesat pada era 1930-an sebagai bond perlawanan warga pribumi.
MH Thamrin jadi pahlawan Betawi yang perjuangkan VIJ dan pribumi agar punya lapangan sendiri.
Kiprah VIJ dilirik Thamrin sebagai alat politik untuk Indonesia merdeka melalui jalur sepakbola. Tak perlu lama, Thamrin pun langsung memberikan perhatian lebih kepada VIJ. Kepedulian Thamrin memancing politisi Indonesia merdeka di Batavia juga bersedia bergabung dengan VIJ.
Tercatat ada nama-nama pahlawan nasional dan tokoh muda penggerak Indonesia merdeka yang membentengi VIJ dari rongrongan pemerintah kolonial, seperti Dr. Kusumah Atmadja, Dr. Moewardi, Dr A. Halim (dokter pribadi Bung Karno), Iskandar Brata (tokoh pemuda Sunda di Batavia), dan Mr Hadi (anggota Dewan Kota).
Dengan sokongan yang demikian hebat kepada VIJ, Thamrin tak segan mendermakan uang sebesar 2000 gulden untuk merenovasi lapangan di Pulo Piun, Petojo. Lapangan yang masih di kawasan Laan Trivelli (Tanah Abang).
Uang 2000 gulden tersebut dipakai untuk merenovasi pagar. Konon, uang tersebut sempat dicicil Persija hingga tahun 1950-an yang dibayarkan kepada keluarga Thamrin. Lapangan tersebut menjadi tempat VIJ beraktivitas selama era 1930-an hingga 1940-an.
“Beliau sangat perhatian dengan VIJ. Lapangan di Petojo beliau bangun pagar-pagarnya sebagai pembatas lapangan. Saya rasa untuk bidang olahraga, hanya lapangan itu satu-satunya warisan Thmarin yang tersisa,” lanjut Pak Untung kepada INDOSPORT.
Lapangan tersebut pun menjadi tempat khalayak ramai di Jakarta untuk beraktivitas. VIJ sebagai bond pun menempati lapangan ini dan memutar secara rutin kompetisi antar klub yang bernaung di bendera VIJ.
Banyak yang belum mengetahui, lapangan Petojo pernah disinggahi Ir Soekarno. Hal itu tak terlepas dari hubungan Thamrin dan Bung Karno yang sangat dekat. Keduanya memang punya sifat politik berbeda, namun dari situlah pemikiran Thamrin dan Soekarno saling melengkapi.
Thamrin memilih jalur kooperatif dengan berjuang masuk ke dalam sistem, selalu ‘menusuk’ pemerintahan Belanda lewat kritikannya di rapat Dewan Rakyat. Sedangkan Sokarno memilih Non-Kooperatif dengan berjuang dari luar sistem.
Meski memiliki perbedaan cara berjuang, hubungan Thamrin dan Soekarno selalu baik. Thamrin yang berada di balik bendera VIJ, selalu bangga dengan keberadaan bond sepakbola pribumi itu.
Dalam suatu kesempatan, Thamrin mengundang Soekarno untuk melihat pertandingan sepakbola kompetisi PSSI tahun 1932. Bung Karno yang baru keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung, langsung diajak Thamrin untuk melihat pertandingan penentuan antara VIJ melawan PSIM Yogyakarta.
“Thamrin saat itu memang menjadi pembina VIJ yang sekarang jadi Persija. Kedekatannya dengan Soekarno bukan berita baru, karena keduanya memang merupakan tokoh yang dicintai warga. Jadi tak mengherankan jika Thamrin mengajak Soekarno untuk menonton pertandingan sepakbola di Petojo,” jelas Pak Untuy.
Era itu, lapangan Petojo menjadi pusat kegiatan sepakbola Jakarta. Walau 20 kilometer ke arah timur ada lapangan Kebon Pala di kawasan Jatinegara, namun sentra sepakbola Jakarta kala itu tetap berada di Petojo.
Saat ini lapangan Petojo tak lagi garang. Lapangan yang kini bernama menjadi Stadion VIJ itu tak selebar dahulu. Terjadi penyempitan lebar lapangan seiring dengan dibangunnya beberapa bangunan di sekitaran lapangan.
Sejak Persija hijrah dari Petojo ke Stadion Ikatan Atletik Djakarta alias Ikada pada era 1950-an, lapangan Petojo tetap menggelar aktivitas sepakbola. Lapangan tersebut sempat dikelola oleh Jasdam Jaya (Jasmani dan Militer Kodam Jaya) dan dipakai oleh klub tua yang juga anggota Persija, Jakarta Putera.
INDOSPORT berkesempatan bertemu dengan salah satu penjaga lapangan yang juga mantan pemain Jakarta Putera, Abdullah Palawah. Pria yang berusia 72 tahun itu pertama kali datang ke Jakarta pada tahun 1964 dan langsung bermain di Jakarta Putera.
“Dulu, lapangan ini dikelola orang-orang Jasdam. Rumahnya pada di sekitaran stadion. Kita dulu di Jakarta Putera tidak menyewa kalau mau latihan buat kompetisi Persija, tinggal pakai saja,” kenang Abdullah Palawah.
Pria yang akrab disapa dengan panggilan om Dullah itu, menerangkan bahwa sejak 1970 lapangan Petojo diambil alih oleh Pemerintah Daerah Jakarta. Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin membangun Pasar Petojo yang berada tepat di depan lapangan.
“Dulu, Bang Ali tidak mau menggusur lapangan ini. Tapi lebarnya yang dipangkas. Beliau dulu nyebutnya buat dijadikan lapangan mini tapi tidak boleh digusur,” cerita om Dullah.
Lapangan Petojo akhirnya dipugar. Satu tribun berdiri di sisi sebelah barat lapangan. Bentuknya memang tidak semegah Gelora Bung Karno, tapi cukup untuk bisa menampung masyarakat sekitar yang ingin melihat hiburan sepakbola.
“Di pegang Pemda, lapangan ini dibagusin. Pertama dikasih tribun, dan akhirnya ada papan skor. Jadinya memang tidak lebar lagi lapangannya, jadi stadion mini. Padahal dulu waktu jadi pemain dan belum ada tribun, saya berasa jauh lari dari belakang ke depan. Nah, pas sudah ada tribun jadi berasa dekat,” kenang om Dullah.
Lambat laun, laju pertumbuhan warga Jakarta meningkat dan sekitaran lapangan pun menjadi kumuh dengan banyaknya rumah warga. Menariknya, stadion yang telah menjadi salah satu cagar budaya itu masih berdiri kokoh meskipun di sekelilingnya telah dipenuhi oleh pertokoan dan rumah penduduk.
Untuk masuk ke dalam stadion, pengunjung harus melewati pemukinan padat dan jalan kecil seperti gang. Tentu saja bukan jalan ideal bagi lapangan tua sarat sejarah di Jakarta.
Mungkin karena kumuh dan padat, Persija sempat menolak pindah ke stadion tersebut pada 2006. Usai Stadion Persija di Menteng digusur, Macan Kemayoran memang sempat ditawarkan Pemda DKI untuk pindah ke Stadion VIJ alias lapangan Petojo. Tapi Persija menolak kembali ke rumah lamanya tersebut.
Kini, lapangan Petojo masih terus bernafas. Memang tak segarang dulu tapi ada saja pemain-pemain kelas kampung Jakarta beradu ilmu sepakbola. Mungkin ini persis seperti masa lalu, saat pemain dari kampung-kampung di Batavia, beradu main bola di lapangan kosong.
“Sekarang biasanya Atamora (klub internal Persija) yang latihan. Tapi tinggal yang muda-mudanya aja. Pemain senior udah ilang-ilangan karena kompetisi Persija juga belum jelas dan juga tak ada jenjang ke senior. Ya sudah anak-anak yang muda saja yang latihan,” cerita pria berdarah Manado itu.
Dengan keberadaan lapangan tua ini, setidaknya warisan Thamrin untuk memajukan sepakbola di Indonesia masih ada. Beruntung bagi generasi saat ini yang masih bisa menyaksikan warisan Thamrin di depan mata.
Jika arus modernisasi turun deras dari empunya kuasa, bukan hal yang tak mungkin warisan satu-satunya Thamrin ini bakal hilang. Kita pun kembali menjadi generasi ‘mati obor’ yang malas melihat sejarah karena memang warisan hanya tinggal cerita.