Wiwi Kusdarti, Sang Kartini di Sepakbola Wanita
Tim Putri Priangan berlatih di Stadion Siliwangi tiga kali sepekan. Wiwi yang saat itu berusia 29 tahun, membuktikan komitmennya untuk menjadi pemain sepakbola. Sebelum menjalani latihan pada pukul 16.00, pagi hingga pukul 15.00, Wiwi bekerja di salon sebuah hotel ternama di Bandung kala itu.
Sebab tak pernah ada sebelumnya, tim Putri Priangan selalu menarik banyak perhatian. Meski dilakukan diam-diam, para penonton selalu memadati lapangan.
Hanya saja, meski dianggap menarik, sepakbola wanita saat itu tetap dianggap sebagai sebuah penyimpangan yang dilakukan wanita terhadap fitrah mereka. Terlebih, pakaian minim yang mereka kenakan, dianggap tak sesuai dengan budaya timur.
Meski bersorak di pinggir lapangan, para penonton juga mencibir para pemain. Wiwi pun tak jarang mendengar komentar negatif dari para penonton yang membuatnya panas telinga.
Sejumlah media juga menyoroti hal ini. Koran Realita menulis bahwa masyarakat banyak yang menganggap betis dan paha wanita, tak pantas untuk bermain sepakbola. Hal ini disebabkan anggapan bahwa bermain sepakbola akan merubah bentuk estetis betis dan paha wanita.
Namun yang lebih menyakitkan bagi Wiwi, adalah tudingan bahwa sepakbola wanita akan meruntuhkan akhlak dan budi pekerti bangsa. Atas pandangan ini, Pengurus Besar Front Mubaligh Islam Medan ini pun meminta agar pemerintah melarang adanya sepakbola wanita.