AC Milan bakal kembali memanaskan bursa transfer di Serie A Italia. Milan seakan belum puas dengan sejumlah yang berhasil diangkut dalam keranjang belanja mereka.
Sejauh ini Milan sudah memastikan jasa Andre Silva, Franck Kessie, Ricardo Rodriguez, Mateo Mussachio, Hakan Calhanoglu, dan Andrea Conti untuk musim depan. Namun, Milan masih melirik Leonardo Bonucci dari Juventus untuk menambal lini belakang mereka.
Milan bahkan sudah memberikan tawaran resmi untuk Juventus. Dilansir dari Sportmediaset, Milan telah menawar Bonucci dengan paket uang 30 juta euro (Rp456,6 miliar) plus Mattia De Sciglio. Milan tahu betul bagaimana memanfaatkan nama terakhir yang tengah dibutuhkan (menjadi favorit bahkan) Juventus di sisi kanan pertahanan.
Lubang di sisi kanan belakang Juventus memang terbuka lebar usai kepergian Dani Alves. Hal ini membuat Si Nyonya Tua sesaat mencoba berpikir untuk menerima tawaran dari salah satu rivalnya di kompetisi domestik tersebut.
Bahkan, proses tawaran untuk Bonucci kini dikabarkan hanya tinggal soal angka. Sky Sports bahkan menyebut bahwa jarak Bonucci ke Milan hanya sekitar 10 juta Euro (Rp152 miliar) saja.
Terakhir, Bonucci bahkan sudah tiba di Milan untuk segera menjalani tes medis. Kenyataan bahwa genderang 'pengkhianatan' itu kembali berbunyi bagi kedua kubu.
Kisah Pengkhianatan Itu Dimulai 88 Tahun Lalu
Saga transfer antar dua klub yang memiliki rivalitas sengit di Italia ini tentu saja menjadi deja vu tersendiri. Kita tentu masih ingat bagaimana kisah Paolo Rossi, Roberto Baggio, hingga Filippo Inzaghi yang memutuskan menjadi pembelot dengan hengkang ke Milan saat masih berseragam Juventus.
Pemain ini mencoba membuka kisah baru yang kontroversial dalam sejarah kariernya. Rossi, Baggio, dan Inzaghi adalah sedikit dari pemain Juventus yang membuka hatinya untuk Milan.
Eksodus pemain Juventus ke Milan memang tidak sebanyak dari proses sebaliknya. Pun kita hanya bisa mengenal Inzaghi yang akhirnya mampu memberikan gelar untuk Il Diavolo Rosso, julukan Milan, dalam kurun satu dekade terakhir.
Padahal, kisah awal pengkhianatan ini sudah dimulai di tahun 1929. Adalah sosok pemain tengah bernama Guglielmo Borgo yang menjadi pembuka.
Borgo didatangkan Milan dari Juventus setelah bermain selama 2 musim di Turin. Pun demikian dengan kariernya di Milan yang hanya berusia 2 musim pula.
Bonucci dan Deja Vu 55 Tahun Lalu
Namun, salah satu kisah sukses Milan dalam membajak pemain Juventus terjadi pada musim 1962/63. Saat itu Milan berhasil mendatangkan pemain sayap kiri bernama Bruno Mora.
Mora sendiri merupakan 'korban' dari sebuah proses transfer. Juventus sangat berminat untuk mendatangkan Sandro Salvadore dari Milan.
Kedua klub pun akhirnya sepakat untuk melakukan pertukaran pemain tersebut. Padahal, Mora merupakan salah satu talenta berharga yang dimiliki saat itu.
Juventus sendiri mendatangkan Mora dari Sampdoria pada tahun 1960. Saat itu bakat Mora bersama Il Samp telah memikat hati Carlo Parola, pelatih Juventus saat itu.
Mora menjadi pemain di Sampdoria sejak tahun 1957 hingga tahun 1960. 3 musim di Sampdoria, Mora mencetak 19 gol dari 71 penampilan.
Bakat Mora bahkan sempat dipuji oleh Gianni Giacone, salah satu pemain legendaris Juventus di era tahun 1920an. Giacone menyebut bahwa Mora merupakan bunga yang akan tumbuh bersama Juventus.
Menariknya, debut Mora untuk Juventus dilakoninya melawan AC Milan yang kelak bakal menjadi tapal kesuksesan kariernya di masa depan. Debut tersebut berlangsung pada bulan November 1960, di Stadion Comunale Vittorio Pozzo, Turin.
Mora langsung mencatat gol dalam laga debutnya dan membuatnya mendapat perhatian dari para pendukung. Sayang saat itu Juventus harus menyerah 3-4 dalam laga sengit tersebut.
Mora langsung mencicip sukses pada musim perdananya bersama Juventus. Mora merupakan bagian penting Juventus dalam skuat yang diusung pemain sekaliber John Charles, Omar Sivori, dan Giampiero 'Il Grande' Boniperti.
Juventus menjadi juara pada musim tersebut usai memenangi persaingan melawan Milan. Juventus mengakhiri musim dengan raihan 49 poin (saat itu kemenangan dinilai dengan 2 poin dan seri 1 poin), hanya berjarak 4 poin dari Milan.
Pengkhianatan yang Menjadi Puncak Karier nan Indah
Kisah indah pria yang lahir di Parma, 29 Maret 1937 ini pun berlanjut usai 2 musim berkarier bersama Bianconeri. Mora kemudian sepakat untuk menjadi paket dalam kesepakatan pertukaran Juventus dengan Milan.
Torehan 17 gol dari 54 penampilan menjadi catatan Mora bersama Si Nyonya Tua. Pengabdiannya juga ditutup dengan berhasil menyumbang sebuah scudetto untuk Juventus.
Bersama Milan, langkah Mora semakin terbuka. Di bawah asuhan Nereo Rocco, Milan kemudian berhasil meraih gelar juara Piala Champions di tahun 1963, saat di mana Mora melangsungkan musim debutnya di sana.
Milan pun menjadi tim asal Italia pertama yang memenangkan trofi antarklub yang paling bergengsi di Eropa. Tangan dingin Rocco-lah yang membuat Mora tampil lebih impresif.
Pada sebuah artikel di Gameofteplan.com disebut bahwa Rocco memaksa Mora tampil lebih ke depan. Mora kemudian menjadi pelayan setia bagi Altafini yang berperan sebagai juru gedor Milan.
Rocco yang dikenal sebagai pelatih yang ikut mempopulerkan gaya catenaccio di Italia ini mengandalkan serangan balik cepat. Fungsi yang diterjemahkan dengan baik oleh Moura yang memiliki akselerasi, kecepatan, dan determinasi tinggi.
Puncaknya adalah partai final Piala Champions (sebelum berubah nama menjadi Liga Champions), di Wembley, Inggris, pada tanggal 22 Mei 1963. Strategi ini digunakan Rocco saat meladeni Benfica yang masih dibela Eusebio.
Benfica sendiri merupakan juara bertahan yang musim sebelumnya meraih gelar dengan mengalahkan Real Madrid di final. Namun, berkat sikap keras Rocco, Milan mampu dibawanya tampil prima dalam laga genting tersebut.
"Siapa pun yang takut tidak perlu repot turun dari bus," tegas Rocco kepada para pemain saat mereka tiba di ruang ganti.
Hasilnya, Milan mampu comeback dengan kemenangan 2-1 di akhir laga. Dua gol Jose Altafini mampu membalikkan keadaan setelah Benfica unggul lebih dulu melalui Eusebio.
Cedera dan Habiskan Karier di Kampung Halaman
Pencapaian sensasional AC Milan di Eropa pada saat memenangkan Liga Champions 1963 menjadi gerbang puasa gelar selama 4 musim ke depan. Usai gebrakan tersebut, performa Milan jatuh dan tertatih di laga domestik.
Mereka kalah bersaing dengan Juventus, Inter Milan, dan Bologna yang bergantian menjadi scudetto saat itu. Penurunan performa ini juga ikut tertular kepada Mora.
Sebuah laga final Coppa Italia di tahun 1965, menjadi hari buruk bagi Mora. Laga melawan Bologna, pada tanggal 12 Desember 1962 hampir membuat karier Mora selesai.
Sebuah benturan dengan Giuseppe Spalazzi, kiper Bologna membuatnya menjerit histeris. Tulang fibula dan tibia Mora patah dan membuat kakinya bengkok.
Cedera yang dialami Mora ini membuat Gianni Rivera dan Mario Trebbi, rekan Mora di Juventus ikut pucat. Keduanya tak kuasa menyaksikan cedera parah yang dialami Mora.
Cedera ini membuatnya harus beristirahat panjang dan kehilangan sentuhannya. Usai pulih, posisi Mora mulai tergusur dari skuat utama.
Hingga akhir kariernya bersama Milan di musim 1969, Mora hanya sanggup bermain sebanyak 23 kali di semua level kompetisi selama 3 musim. Mora pun hanya sanggup membuat 5 gol dalam kurun waktu tersebut.
Tahu bahwa kariernya meredup. Mora pun memutuskan untuk pulang ke tanah kelahirannya di Parma. Mora bermain di sana hingga akhirnya pensiun di tahun 1971 dengan membawa Parma berhasil menjadi juara Serie D Italia.
Mora akhirnya menutup usia pada tahun 1986 di usianya yang ke-49. Pemain 'bajakan' itu pun menyisakan cerita bahwa pengkhianatan tak selamanya menyusutkan prestasi.
Hijrahnya Bonucci dari Juventus ke AC Milan menjadi refleksi baru bahwa keinginan untuk meraih prestasi tak sekedar selesai dengan bahasa loyal. Kalau sudah begitu, tinggal bagaimana Bonucci bisa membayar keinginannya bersama Milan setelah dicap pengkhianat oleh pendukung AC Milan.