Hijrahnya Bonucci dan Dominasi Juventus yang Berevolusi
Oke Juventini, sekarang lepas nafas pertama untuk menjawab fakta kedua. Siapkan kopi agar bisa lebih santai sebelum mencela.
Kita sejenak mundur lebih jauh ke belakang, setidaknya 2 dekade silam. Kejadian serupa menyeruak saat dengan santainya Juventus melepas Roberto Baggio ke AC Milan.
Sejak didatangkan dari Fiorentina pada tahun 1990, butuh 2 tahun baginya untuk diterima fans Juventus. Namun, Baggio kembali dianggap 'berkhianat' setelah memutuskan menerima tawaran dari AC Milan, setelah menyumbangkan 1 Scudetto, 1 gelar Piala UEFA, dan1 trofi Coppa Italia untuk Si Nyonya Tua.
Saat itu, Baggio langsung nyetel bersama Milan dengan sumbangan Scudetto di musim perdananya. Tapi, Juventus kemudian sukses menggondol trofi Liga Champions di musim ini.
Transfer mengejutkan berikutnya adalah masa di mana eksodus pemain terjadi pada musim panas semusim kemudian. Saat itu Fabrizio Ravanelli dan Gialuca Vialli dilepas Juventus usai membawa mereka menjadi raja di Eropa.
Tidak kalah menyakitkan adalah bagaimana Juventus kemudian melepas Zinedine Zidane ke Real Madrid pada tahun 2001 silam dua periode ini sempat disebut sebagai masa di mana Juventus melakukan kesalahan.
Tapi Juventus tetaplah Juventus, yang masih bisa berdiri sebagai salah satu tradisi sepakbola Negeri Pizza. Usai generasi emas Ravanelli dan Vialli, Juventus tetap memunculkan nama emas seperti Christian Vieri dan Filippo Inzaghi (kelak keduanya juga bakal berlabuh di Milan dalam kariernya).
Lalu ada jejak Pavel Nedved sebagai pengganti yang lebih loyal (karena ketetapan hatinya bertahan saat Juve bermain di Serie B) ketimbang Zidane.
Sempat ada keraguan juga saat Andrea Pirlo, Arturo Vidal, dan Carlos Tevez seakan tak ditahan saat mereka ingin hengkang 3 musim lalu. Terakhir bagaimana kagetnya ruang ganti Juventus kala Paul Pogba yang baru semusim mengenakan kostum nomor 10 dijual ke Manchester United.
This is the show. Juventus paham betul bagaimana membuat sebuah kebijakan transfer.
Hal yang sempat diungkapkan pula oleh Marotta dalam sebuah wawancara. Marotta sekali lagi membuktikan bahwa kebijakan tersebut jauh lebih visioner untuk klub dibanding menahan pemain yang tak lagi memiliki hati bermain di skuatnya.
"Bagaimana kami memilih calon pemain Juventus? Kami membaginya menjadi dua kategori. Kami membeli pemain yang terbukti memiliki mental juara seperti Dani Alves, Mario Mandzukic, Sami Khedira, Gonzalo Higuain, dan lain-lain," kata Marotta seperti dikutip dari Football-Italia.
"Kami bisa juga mencari talenta muda. Namun, talenta muda dapat menjadi pemain juara. Hal itu berarti seorang pemain tak hanya memiliki teknik hebat, tetapi memiliki mental juara, contohnya adalah Paulo Dybala," tambahnya.
Terakhir, lihat bagaimana Juventus bisa mendatangkan Douglas Costa, Rodrigo Bentacur, Wojciech Szczesny, dan Federico Bernardeschi di bursa transfer. Nama terakhir bahkan disebut sebagai salah satu pembelian terbaik Juventus musim ini.
Bernardeschi merupakan sosok yang dicari Massimiliano 'Max' Allegri, sang juru taktik Juventus. Berna akan menjadi kepingan puzzle terakhir sebagai trequartista yang diidamkan Allegri selama ini.
Soal lini belakang? Juventus masih memiliki nama muda seperti Daniel Rugani atau Mattia Caldara, yang masih diberi kesempatan untuk 'magang' di Atalanta sampai musim depan, untuk menemani Giorgio Chiellini, Medhi Benatia, dan Andrea Barzagli di lini belakang.
Juventus sekali lagi membuktikan tidak ingin mengeluarkan dana besar, jika tidak ingin disebut pelit, untuk membangun tim. Apalagi rekrutan Juventus musim ini tidak ada yang berusia di atas 30 tahun, pertanda betapa Juventus bisa membangun kekuatan dengan tenang.
Ini soal bagaimana Juventus membentuk tim 2-3 musim ke depan. Sebuah visi yang belum dimiliki tim pesaingnya di Italia.