Nama klub Rohingya Football Club (RFC) mungkin belum akrab di telinga para pencinta sepakbola. Namun, klub kecil ini memiliki sepenggal kisah inspiratif tentang tekad dan kemauan berprestasi di tengah keterbatasan.
Rohingya Football Club sendiri adalah sebuah klub sepakbola independen yang didirikan oleh sekelompok pengungsi Rohingya, etnis minoritas Muslim yang terusir akibat konflik berkepanjangan yang terjadi di wilayah Myanmar.
Klub independen yang berdiri sejak tahun 2015 ini beranggotakan pemuda-pemuda Rohingya usia 18-30 tahun yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia.
RFC saat ini terdaftar sebagai salah satu anggota CONIFA (Confederation of Independent Football Associations) atau federasi sepakbola bagi asosiasi-asosiasi yang berada di luar FIFA. Tak hanya RFA, federasi ini pun beranggotakan kelompok-kelompok minoritas 'tak bernegara' lain seperti Uighur dan Tibet.
Dikutip dari laman resmi CONIFA, RFC dibentuk untuk membuka kesempatan bagi anak muda Rohingya menyalurkan minat dan bakat mereka pada sepakbola.
Tujuan tersebut senada dengan apa yang dinyatakan dan dipraktikkan langsung oleh para anggota RFC.
Salah satu anggota RFC bernama Mohd Farouque yang melarikan diri dari Rakhine, Myanmar, ke Malaysia sejak satu dekade lalu mengungkapkan bahwa RFC didirikan untuk menghapuskan persepsi buruk orang-orang terhadap Rohingya.
Farouque dan kawan-kawannya berharap juga RFC dapat mewakili komunitas Rohingya di konfederasi sepakbola internasional dan bermain di level dunia. Sebagaimana moto tim ini yakni 'sebuah klub kecil dengan sebuah mimpi yang besar'.
"Kami ingin menunjukkan kepada dunia bahwa orang Rohingya juga punya talenta dan juga punya bakat," kata Farouque saat berlatih dengan 25 anggota RFC lain pada April 2017 lalu di Kuala Lumpur, dilansir dari channelnewsasia.com (09/04/17).
Salah seorang striker RFC, Faruk Yousuf, pun mengamini hal tersebut. Pemuda 24 tahun yang lahir di Malaysia setelah kedua orang tuanya mengungsi dari Myanmar tersebut merasa termotivasi untuk menjadi orang Rohingya pertama yang jadi pesepakbola profesional.
Semangat membara tersebut tak hanya datang dari para pemain, tetapi juga dari sosok wasit Rohingya bernama Dil Mohd. Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pekerja bangunan ini merasa bangga lantaran dirinya didapuk menjadi wasit resmi klub RFC.
Bahkan segala keterbatasan, termasuk kenyataan bahwa dirinya harus menjalankan tugasnya tanpa alas kaki atau sepasang sepatu layaknya wasit-wasit pada umumnya, pun tak menghalangi semangat dari pria yang mengaku belum bisa berbahasa Inggris itu.
Rohingya Football Club menjadi gambaran betapa mimpi adalah hal yang universal. Ia milik semua orang, sekalipun mereka yang dibelenggu oleh penindasan.
Dan mewujudkan mimpi itu sendiri juga adalah salah satu hak dasar yang dimiliki oleh semua orang, apa pun ras, suku, etnis, agama, kebangsaan, ataupun identitas lain yang melekat padanya.