Era 70 dan 80 an bisa dikatakan era gemilangnya PSMS Medan. Tak hanya menyumbang berbagai prestasi di level lokal dan internasional, sejumlah pemainnya pun kerap menjadi langganan tim nasional saat itu.
Sebut saja Tumsila dan Nobon Kamayudin. Dua pemain era 70 an ini begitu dikenal karena kepiawaian mereka mengolah si kulit bundar di atas lapangan hijau. Bahkan, saking sering dan indahnya gol yang disarangkan ke gawang lawan menggunakan kepala, Tumsila mendapat gelar si 'Kepala Emas'.
Selanjutanya era 80 hingga 90 an, ada nama Ponirin, Abdurrahman Gurning, Yusni Adi Putra, Sunardi A, dan Suheri.
Nama-nama ini masih membekas di benak pecinta bola Sumatera Utara khususnya Kota Medan. Kehebatan mereka di atas lapangan hijau tak diragukan lagi, hingga tak jarang mereka mendapat kepercayaan dipanggil untuk membawa harum nama Indonesia di kancah internasional.
Berlanjut ke era 2000 an, giliran nama Saktiawan dan Markus Horison yang naik ke permukaan. Nama striker tajam dan penjaga gawang berkepala plontos ini begitu tenar di eranya. Tak cuma menjadi ikon Ayam Kinantan di eranya, kedua pemain ini pun kerap menjadi langganan timnas di berbagai pertandingan akbar.
Sayang setelah itu tak ada lagi pemain PSMS Medan yang turut menyumbangkan talentanya sebagai duta bangsa.
Beruntung, masih ada nama anak Medan yang masih mengisi skuad Timnas Indonesia saat ini. Siapa lagi kalau bukan Egy Maulana. Namanya booming di Timnas U-19 dan disebut-sebut sebagai Messinya Indonesia karena kelincahan dan skill individunya yang begitu tinggi.
"Egy walaupun asalnya bermain di klub amatir di Medan dan mendapatkan pelatihan dan bimbingan khusus orang tuanya, namun nama besarnya tidak di dapat dari klub profesional di Medan seperti PSMS melainkan di Diklat Ragunan Jakarta," sebut eks pemain PSMS Medan era 80 an, Sunardi A kepada INDOSPORT, Minggu (19/11/2017).
Kondisi ini menurut Sunardi tak lain karena minimnya pembinaan pemain usia muda di Medan. Sementara, banyaknya kompetisi yang dihelat di Medan tak begitu efektif dalam menemukan talenta muda berbakat. Mengingat, tak ada progres nyata yang dilakukan penyelenggara usai kompetisi itu digelar.
"Kemarin ada turnamen sepakbola yang digelar Askot untuk U-12 dan U-15. Tapi habis turnamen ya udah habis gitu aja. Seharusnya ada raport sehingga pemain bertalenta mendapatkan progres yang nyata ke depan," ujar Sunardi. Misalnya, tahun depan ada perhelatan Piala Soeratin, pemain berbakat dalam turnamen Askot bisa dijadikan modal bagi tim asal Medan, sambung Sunardi.
"Selain itu, pemain potensial yang ada sebenarnya bisa di asah. Ke depan PSMS masuk liga 1 ini kan kesempatan baik. Harusnya pemain muda yang mengisi skuat Ayam Kinantan adalah anak-anak Medan. Tapi kalau gak ada, kan terpaksa cari pemain dari luar daerah," sebutnya.
Kondisi tersebut cukup memprihatinkan ucap Sunardi. Dirinya menilai minimnya pembinaan seiring sejalan dengan ketersediaan dana dan kurangnya perhatian dari instansi terkait.
"Bagaimana dibina kalau dananya gak ada. Harusnya ada dukungan dari pemerintah maupun pihak swasta yang bisa bersinergi seperti daerah-daerah lain dalam mengembangkan bakat di usia muda," terangnya. Di akhir, Sunardi hanya berharap PSMS era Djanur bisa menyumbangkan pemainnya yang asli anak Medan di Timnas.