Prancis berhasil mengangkat trofi Piala Dunia untuk kedua kalinya setelah di final mengalahkan Kroasia 4-2 di Stadion Luzhniki Moskow, Minggu (15/07/18) malam kemarin.
Bagi pelatih Didier Deschamps, dirinya menjadi orang ketiga yang sukses meraih gelar juara dunia baik saat jadi pemain 20 tahun lalu dan tahun ini saat jadi pelatih.
Sebelumnya ada Franz Beckenbauer (1974 dan 1990) dan Mario Zagallo (1970 dan 1994) yang memperoleh prestasi serupa.
Kemenangan Prancis semakin berarti bagi masyarakatnya dan dunia, seperti dilansir oleh DW.
TOP 5 NEWS INDOSPORT: RONALDO GABUNG JUVENTUS, 12 PESEPAKBOLA TERJEBAK DI GUA
Di tengah maraknya paham populisme yang cenderung anti-anti imigran, keluar dari kesepakatan-kesepakatan (yang dipicu oleh keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden AS), prestasi Prancis membuktikan bahwa tidak ada yang salah dengan perbedaan.
Partai sayap kanan Front Nasional pimpinan Marine Le Pen kerap meragukan nasionalisme orang-orang imigran yang sudah menjadi warga negara Prancis.
Bahkan saat Prancis juara dunia 1998, ayah Marine, Jean Marie Le Pen mengkritik bahwa para pemain imigran tak hafal lagu kebangsaan Prancis, Le Marseillase. Dan para imigran hanya bermain untuk trofi, bukan untuk kebanggaan bangsa Prancis.
Tetapi, kita lihat skuat 1998. Ada Zinedine Zidane keturunan Aljazair, Marcel Desailly keturunan Ghana, Lilian Thuram keturunan Kepulauan Guadalope, serta banyak sederet nama lainnya yang mampu meraih Piala Dunia 1998 di rumahnya.
20 tahun kemudian, Deschamps, yang Prancis asli dan menjadi pemain inti 20 tahun lalu, sudah menjadi pelatih, berdampingan dengan status Prancis yang masih tetap menjadi negeri yang multikultur.
Di tengah sentimen anti imigrasi, yang membuat negara-negara Uni Eropa pusing kepala karena tidak adanya kesempakatan yang pasti untuk menangani kedatangan para imigran dan pencari suaka, tim nasional Prancis membuktikan bahwa mereka lebih bisa memberikan kebahagiaan bagi warganya ketimbang retorika radikal para pemimpin partai politik sayap kanan.
Tidak ada yang berbeda saat di atas lapangan hijau dan di luar lapangan.
Tak peduli dia kulit hitam, putih, atau keturunan Arab. Orang tak peduli apakah Kylian Mbappe, Paul Pogba, atau Antoine Griezmann yang mencetak gol. Saat gol, semua bersorak. Tanpa melihat warna kulit atau ras.
Di sini, timnas Prancis adalah bukti skala kecil berhasilnya integrasi antara imigran dan penduduk asli. Mereka bersatu padu untuk menunjukkan bahwa ada hal yang lebih penting dari sekadar perbandingan, yakni kesatuan untuk mengharumkan nama bangsa dalam kancah sepakbola.
Selamat! Prancis Menjadi Juara Piala Dunia 2018
Terus ikuti berita terbaru INDOSPORT dengan topik: PIALA DUNIA 2018 RUSIA