In-depth

Amedspor dan Etnis Kurdi, Sebuah Politik Pahit di Lapangan Hijau

Kamis, 16 Mei 2019 18:39 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto
© Ahval
Suporter Amedspor/Amed SK. Copyright: © Ahval
Suporter Amedspor/Amed SK.

INDOSPORT.COM - Sepak bola Turki baru-baru ini digemparkan dengan insiden kekerasan antarpemain. Seorang pemain dari klub Amedspor yang bernama Mansur Calar dituding melukai leher pemain Sakaryaspor menggunakan silet dalam sebuah pertandingan kasta ketiga Liga Turki. 

Indsiden ini menjadi viral saat sejumlah pemain Sakaryaspor memamerkan bekas luka goresan di media sosial. Federasi Sepak Bola Turki (FFT) pun menghukum Mansur Calar berupa larangan main seumur hidup dan denda 3.500 pound (Rp59 juta).

Buntut dari persoalan ini, suporter Amedspor dilarang datang ke stadion tiap klubnya bertanding baik kandang maupun tandang. 

Bagi pemerintah Turki, hal ini dilakukan demi alasan keamanan. Namun lain ceritanya bagi suporter Amedspor. 

Larangan ini dianggap tak lepas dari konflik etnis yang terjadi antara Turki dan Kurdi. Maklum, Amedspor merupakan klub yang berasal dari kota terbesar di wilayah Kurdi. 

Amedspor, di Antara Konflik Turki dan Kurdi

Amedspor atau Amed SK merupakan klub sepak bola asal Kota Diyarbakir yang terletak di daerah tenggara Turki. Klub ini didirikan pada tahun 1990 dengan nama awal Diyarbakir Buyuksehir Belediyespor.

Amedspor dianggap sebagai klub para kaum Kurdi karena bermarkas di Kota Diyarkbir, kota terbesar di tenggara Turki yang mayoritas didiami oleh orang-orang etnis Kurdi. 
 
Pergantian nama ke Amedspor pada 2014 menjadi sebab mereka makin dipojokkan dan dianggap sebagai klub orang-orang Kurdi. Pasalnya, nama Amed diambil dari wilayah luas yang juga mencakup Kota Diyarbakir. 

Amedspor bukan tim besar dan hanya bermain di kasta ketiga. Namun, pertandingan mereka kerap dipenuhi konflik dan konfrontasi antarfans.

Apalagi sebabnya jika bukan konflik antara etnis Kurdi dan pemerintahan Turki. Konflik yang telah menelan 40 ribu lebih korban jiwa.

Tensi di Sepak Bola

Apa yang menimpa Mansur Calar pada 2 Maret lalu hanyalah percikan dari api konflik yang melebar ke lapangan hijau. 

Selepas insiden penyiletan pemain, Mansur Calar dijuluki oleh media pro pemerintah sebagai 'Teroris dengan silet'.

Calar mengelak dan menyebut dirinya korban kampanye politik untuk melawan Amedspor. 

"Omong kosong, bagaimana bisa seorang pemain sepak bola membawa silet dan melukai lawannya? Itu mustahil," ujar Calar kepada BBC

Entah ia benar melakukannya atau tidak, yang jelas kasus ini kental dikatikan dengan sentimen etnis Kurdi. 

Pada 2016 lalu, petinggi Amedspor bahkan pernah dipukuli oleh massa di Ibu kota Ankara seusai laga melawan Ankaragucu. 

Pada 2017, giliran pemain Amedspor keturunan Jerman-Kurdi dilarang main seumur hidup karena dituduh menyebarkan dukungan untuk Partai Pekerja Kurdi (PKK) di media sosial.

Setiap laga tandang yang dilalui oleh Amedspor sering dijumpai gambar serigala abu-abu, lambang kaum nasionalis Turki. 

Bendera Turki berukuran raksasa juga dibawa oleh suprter lawan sambil meneriakan slogan "Kurdi pergi! Teroris pergi!" atau "Ini Turki, bukan Kurdistan," 

Pemilik Amedspor, Ali Karkaas, kecewa pada apa yang menimpa klubnya dan sempat berucap bahwa sepak bola telah terpolarisasi dengan sentimen politik. 

"Sepak Bola adalah Pusat Politik di Turki," katanya. 

© Tümspor - Haber7
Skuat Amedspor Copyright: Tümspor - Haber7Skuat Amedspor pada 2016 lalu.

Polarisasi juga terjadi di tim wanita Amedspor. Berbeda dengan tim pria, tim wanita Amedspor bermain di kasta teratas Liga Turki. Para pendukung tim pria Amedspor sering ikut mendukung tim wanita Amedspor.

Pengamanan bagi para pemain Amedspor tiap melawan tim-tim dari luar pun sangat ketat. Bahkan, salah saeorang pemain wanita Amedspor pernah menyebut laga layaknya persiapan untuk perang. 

Namun, di antara pengawalan super ketat dari kepolisian, suporter Amedspor tetap berusaha memberikan dukungan dengan chant-chant yang menunjukkan kedamaian. 

"Amedspor - Eyupspor! bergandengan tangan, berangkulan, kedua tim bersatu! Damai di dalam stadion! Hei, media pro-pemerintah, apa kalian mendengar kami? Apakah kalian lihat kami meneriakan chant kedamaian?