Semangat toleransi dan saling menghormati dalam beragama ditularkan Asosiasi Sepakbola Inggris (Football Association/FA) kepada dunia dengan meniadakan penggunaan alkohol saat selebrasi semprot sampanye di perayaan juara.
Tradisi semprot sampanye yang sudah berlangsung puluhan tahun tetap akan dilakukan namun dengan minuman non-alkohol.
Langkah ini dilakukan FA untuk menghormati para penikmat Liga Inggris berlatar belakang agama yang melarang minuman beralkohol, salah satunya Islam.
Selain itu di Inggris juga memang ada larangan seseorang di bawah usia 18 tahun mengonsumsi alkohol.
"Sebagai gantinya akan disediakan sampanye non-alkohol. Kami ingin memastikan tidak ada alkohol (saat selebrasi juara),” tulis FA dalam keterangan resminya.
Aturan ini sudah diberlakukan saat final Piala FA saat Manchester City bekuk Watford di Stadion Wembley pada 18 Mei 2019 kemarin.
Pada laga tersebut, tiga pemain muslim mereka Riyad Mahrez, Benjamin Mendy dan Ilkay Gundogan tak perlu risih melakukan selebrasi juara usai melumat Watford enam gol tanpa balas.
Tentu saja aturan ini mendapat respon positif dan masyarakat Inggris dengan populasi penduduk muslim sebanyak 4 persen atau sekitar 2,5 juta warga muslim.
"Ini adalah langkah positif yang mengarah ke inklusifitas. Setiap orang dengan latar belakang dan keyakinan yang berbeda dapat menikmati pertandingan,” ujar Presiden Asosiasi Muslim Inggris, Anas Altikriti dilansir dari Sportsmail belum lama ini.
Tradisi semprot sampanye atau anggur putih sudah menjadi kultur saat perayaan juara, tak hanya di sepak bola namun juga di ollahraga lainnya seperti MotoGP dan Formula 1.
Semprot minuman asal Prancis ini dilakukan hanya untuk ekspresikan kegembiraan sejak abad ke-17. Lalu menjalar ke dunia olahraga pada 1930-an, ketika seorang pengusaha Champagne, Count Frederic Chandon memberikan berbotol-botol sampanye ke pemenang Grand Prix Formula 1 Prancis.
Awalnya memang untuk diminum, namun pembalap F1 Dan Gurney yang memulainya saat ia dengan sengaja menutup ujung botol dengan jempol, mengocoknya lalu menyemprotkan pada penonton saat naik podium pada balapan di Le Mans pada 1967.
Liga Inggris Ramah Muslim
Federasi sepakbola Inggris memang sangat memperhatikan masalah perbedaaan agama. FA punya divisi khusus untuk mengelola komunitas kepercayaan yang tergabung dalam Faith in Football Working Group.
Kelompok ini didirikan pada Juni 2011 bertujuan memberi masukan kepada FA tentang isu-isu berbasis agama dalam sepak bola yang bakal dituangkan aturan di sepak bola Inggris atau bahkan usulan untuk masuk ke dalam Law of the Game FIFA.
Beberapa program yang mereka lakukan antara lain memberi pemahaman soal Islam untuk mengikis pemahaman Islamophobia yang merebak di Inggris.
“Lewat kelompok Faith and Football FA kita ingin menularkan gairah dan semangat bahwa sepak bola punya kekuatan untuk menyatukan siapa pun, tidak peduli apa latar belakang mereka,” ujar Alex Goldberg, Chairman The FA Faith Network.
Sejarah sepak bola di Inggris memang tak lepas dari agama dan kepercayaan. Sejumlah klub sepak bola di Inggris terbentuk karena komunitas agama.
Sebut saja Bolton Wenderers yang terbentuk dari komunitas gereja. Ada juga Everton FC yang terbentuk dari tim sepak bola Sekolah Minggu Gereja Methodis St Domingo.
Federasi Sepakbola Inggris adalah yang terdepan memperjuangkan pemakaian hijab bagi pesepakbola wanita muslim. Mereka yang mengajukan banding ke FIFA pada 2012 dengan keras menentang aturan yang melarang pesepakbola wanita mengenakan hijab.
FA juga menyetujui pembentukan Asosiasi Pesepakbola Muslim yang didirikan oleh Nathan Ellington, mantan pemain profesional yang juga seorang muslim.
Federasi Sepakbola Inggris ini juga mengatur bagaimana penjadwalan liga saat Ramadan disesuaikan agar bagaimana laga bisa berlangsung usai matahari terbenam.
Sejumlah klub di Liga Inggris juga telah membangun Masjid di sekitaran komplek stadion. Sebut saja Mohamed Salah dan Sadio Mane yang kerap datang ke masjid dekat stadion untuk Salat Jumat.
Dakwah Gaya Baru
Semangat toleransi ini tak lepas dari sejumlah bintang Liga Inggris yang beragama Islam membuat angka penonton Liga Inggris di negara-negara mayoritas Muslim meningkat drastis.
Duo bintang Liverpool, Mo Salah dan Mane menjelma menjadi sosok panutan bagi pencinta Liga Inggris secara luas dan Liverpudlian, fans Liverpool secara umum.
Latar belakang Mane yang tumbuh dari kalangan muslim Taat di desa kecil Bambali, Senegal Selatan menjadi inspirasi bagi para penggila Liverpool. Begitu juga ketaatan bintang asal Mesir, Mo Salah yang tak pernah absen bersujud saat melakukan selebrasi gol.
Nilai-nilai Islam yang ditularkan Mo Salah dan Mane tanpa harus lakukan keliling masjid, bercelana cingkrang atau berjidat hitam.
Salah dan Mane sebagai pesepakbola profesional tetap melakukan tugasnya di lapangan hijau namun dengan memasukkan nilai-nilai Islam.
Jangan pernah anggap biasa selebrasi sujud Salah atau gaya satu jari menunjuk ke atas langsung ke langit sebagai tanda tauhid (Keseaan) kepada Tuhan saat selebrasi gol.
Gaya dakwah sederhana ini ternyata mampu menyihir jutaan pencinta Liverpool dan Liga Inggris yang belakangan pelan-pelan mulai mengenal Islam lebih jauh lagi.
Chants penonton di Stadion Anfield I’ll be Moslem Too (Saya akan menjadi seorang Muslim juga) kerap menggema sebagai dukungan.
“Mo Sa-la-la-la-lah, Mo Sa-la-la-la-lah, if he's good enough for you, he's good enough for me, if he scores another few, then I'll be Muslim too,” demikian lagu dukungan untuk pria kelahiran kota Basyoun, Mesir, sekitar 100 km di utara Kairo.
Mo Salah doing more to end the clash of civilisations than anyone else in the world https://t.co/KQIMG2geKA
— Karl Sharro (@KarlreMarks) February 15, 2018
Gaya dakwah Mo Salah dan Mane mampu melawan rasialisme endemik di sepakbola Inggris. Perlahan dan pasti Mo Salah menghentikan Islamophobia yang menjangkiti Inggris atau bahkan Eropa sejak lama.
Untuk hal ini saya sepakat dengan candaan satirist dan kartunis Karl Sharro yang menyatakan bahwa Mo Salah telah berbuat banyak mengakhiri benturan peradaban (Clash of Civilizations) Islam dan Barat, jauh dari siapa pun tokoh di dunia ini.
Mo Salah dan sejumlah pemain muslim di Liga Inggris sukses membangun jembatan yang menghubungkan pikiran Barat-Islam dengan tetap melanjutkan hobi dan sumber nafkah mereka bermain sepak bola.
Mo Salah dan Mane memang gagal mengakhiri puasa gelar Liga Inggris untuk Liverpool setelah 29 tahun tak kunjung menjuarai Premier League.
Namun hal ini tak lantas membuat mereka cacat di mata suporter Liverpool apalagi jika mereka mampu menyumbang gelar Liga Champions pada partai final 2 Juni 2019 nanti melawan Tottenham Hotspur di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid.
Terus Ikuti Berita sepak bola internasional Liga Inggris Lainnya Hanya di INDOSPORT.COM