INDOSPORT.COM – Di suatu pagi yang sejuk ditemani kicauan burung yang saling sahut-sahutan dengan bunyi ayam yang berkokok, tiba-tiba saja tanah bergetar yang membuat para warga berhamburan keluar rumah dan langsung menyadari telah terjadi gempa di Yogyakarta.
Tepat hari ini 27 Mei, 13 tahun lalu, Yogyakarta dan sekitarnya diguncang oleh gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter. Gempa yang berdurasi nyaris satu menit itu membawa dampak yang sangat besar.
Dampak itu berupa korban berjatuhan, gedung dan rumah rata dengan tanah hingga trauma yang terus membekas dari warga Yogyakarta akan gempa di suatu pagi itu.
Dampak akibat gempa rupanya dirasakan juga oleh klub sepak bola di sana seperti PSIM Yogyakarta dan PSS Sleman.
Sejumlah kerusakan turut membuat PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta kebingungan untuk melanjutkan kiprah mereka di divisi utama Liga Indonesia musim 2006. Pasalnya lapangan mengalami kerusakan dan para pemain mengalami trauma hebat akibat gempa.
Sontak hal itu membuat PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta mengundurkan diri dari kompetisi Liga Indonesia. Padahal pada saat itu, baik PSS maupun PSIM sedang dalam peforma terbaiknya untuk bersaing dengan tim-tim mapan Liga Indonesia.
PSS saat itu dipimpin pelatih Herry Kiswanto memiliki komposisi tim yang cukup mumpuni dengan dihuni para bintang seperti Rochy Putiray, Kurniawan Dwi Yulianto, hingga Slamet Nurcahyo.
Tapi apa daya gempa telah membuat PSS harus berhenti di tengah persaingan ketat Liga Indonesia.
Tak hanya PSS, PSIM juga saat sedang dalam kondisi yang baik dan siap bersaing dengan para tim-tim kuat Liga Indonesia. Tapi senasib seperti PSS, PSIM harus berhenti untuk melanjutkan perjuangannya di divisi utama.
Tapi beruntung pada saat itu diambil keputusan untuk meniadakan degradasi sehingga PSIM dan PSS masih bisa bertahan di divisi utama Liga Indonesia untuk musim depan. Lantas setelah 13 tahun berlalu, seperti apa nasib PSS dan PSIM saat ini di Liga Indonesia?