Bak 'Lingkaran Setan', Sulitnya AC Milan Lolos dari Jerat Financial Fair Play
Di musim perdananya bersama Rossoneri, Yonghong Li menggelontorkan lebih dari 200 juta euro untuk 11 pemain baru. Namun, usaha ini ternyata tetap tak bisa mengantarkan prestasi pada Milan. Milan masih gagal juara dan bahkan tak bisa lolos ke Liga Champions.
Parahnya lagi, Yonghong Li, yang diketahui membeli Milan dari hasil pinjaman ke Elliott Management, gagal mengembalikan utang saat jatuh tempo. Tak tanggung-tanggung, utang Yonghong Li terhadap Elliott mencapai 380 juta euro (Rp6,1 triliun).
Rencana Milan di bawah Yonghong Li pun gagal. Alhasil, kepemilikan Milan diambil alih oleh Elliott Management. Elliot sendiri hingga saat ini menjadi pemilik saham terbesar AC Milan.
Elliott memberi jaminan keuangan agar Milan terhindar dari kebangkrutan dan berniat melakukan investasi besar di klub peraih tujuh gelar Liga Champions tersebut.
Namun, usaha itu terlanjur terhambat oleh 'dosa' yang dilakukan Yonghong Li dan masa akhir kepemimpinan Berlusconi. UEFA, melalu CFCB, mendapati Milan mengalami kerugian yang besar.
Rossoneri gagal untuk memenuhi persyaratan neraca keuangan klub selama periode pengamatan 2018/19, yang meliputi akhir tahun 2016, 2017 hingga 2018.
Dilansir dari Calcio Finanza, pada musim 2016/17 Milan mengalami kerugian sampai 70 juta euro. Jelas itu melanggar batas FFP.
Saat itu Milan sempat berhasil membujuk UEFA seiring kedatangan Yonghong Li yang siap menjabarkan rencana bisnis baru.
Namun, janji itu tak ditepati. Selepas akhir musim 2017/18, Milan mengumumkan kerugian operasional (sebelum pajak) sebesar 126 juta euro.
Kondisi ini jelas semakin menambah akut kerugian Milan. Kompetisi Europa League tak cukup memberikan keuntungan bagi Milan.
Milan disanksi tak boleh main di Eropa selama dua musim dan dibatasi belanja pemain pada bursa transfer.
Selepas kepergian Yonghong Li, Milan dengan manajemen yang baru langsung 'membujuk' UEFA untuk menangguhkan segala sanksi yang ada.
Elliott Management, diwakili CEO Milan, Ivan Gazidis, mengajukan banding ke CAS. Usaha ini cukup berhasil dengan Milan yang bisa main di Liga Europa musim 2018/19.
UEFA memberikan tenggat waktu hingga akhir musim 2020/21 untuk Milan menyeimbangkan neraca keuangan mereka. Jika masih gagal, maka Milan dipastikan tak bisa main di kompetisi Eropa pada musim 2022/2023 dan 2023/2024.
Bagaimana Cara Milan Lepas dari Jerat FFP
Bak 'lingkaran setan', usaha Milan keluar dari jerat Financial Fair Play sangatlah sulit. Di sisi lain, Milan ingin bangkit dan main di level teratas untuk meraih keuntungan besar.
Namun, di waktu bersamaan, Milan tidak diperbolehkan belanja pemain dalam nilai besar agar tak memperparah kerugian yang ada.
Jadi, sederhananya, Milan harus bisa mendapat keuntungan dari bermain dan berprestasi di Liga Champions, bersaing di papan atas Serie A, mendapat banyak uang tiket penonton, tetapi hanya dengan bermodalkan pemain-pemain dengan harga miring.
Jelas saja ini hanya sesuatu yang terjadi di Negeri Dongeng. Milan wajib mendatangkan pemain top untuk mendatangkan prestasi dan keuntungan.
Cara awal yang bisa dilakukan adalah dengan cuci gudang pemain-pemain yang tak berkontribusi. Buang semua pemain-pemain yang hanya membebani gaji.
Kemudian, Milan bisa merekrut bintang dunia dengan harga yang tak terlalu mahal atau bahkan bebas transfer. Di sini peran pelatih sangat penting karena harus menentukan pemain yang seefektif mungkin berguna untuk Milan.
Sayangnya, musim depan Milan tak bermain di Liga Champions. Inilah mengapa kegagalan I Rossoneri musim ini ke zona Liga Champions bagaikan sebuah bencana. Milan kehilangan keuntungan potensial sebesar 50 juta euro dari absen di Liga Champions.
Akan sulit pula bagi Milan menarik pemain bintang jika tak main di Liga Champions, apalagi dengan biaya transfer miring.
Cara paling buruk adalah dengan menjual pemain termahal mereka. Misalnya, Gianluigi Donnarumma atau Alessio Romagnoli.
Kedua pemain ini masing-masing diyakini berharga minimal 60 juta euro. Ini bisa mengurangi kerugian Milan sekaligus memberikan ruang untuk belanja 2-3 pemain baru.
Pemain bintang yang datang harus dipastikan mampu memberikan prestasi dan meningkatkan uang pendapatan merchandise seperti jersey, dsb.
Untuk suporter, Milan sepertinya bisa mulai berharap lebih. Mengapa? Pada musim 2018/19 lalu Milan mendapatkan rataan jumlah penonton terbesar semenjak lima musim terakhir.
Andai saja Milan tak mengalami kerugian besar pada akhir musim 2017/2018, niscaya Elliott Management diperbolehkan menggelontorkan dana besar untuk kebangkitan Milan awal musim depan. Namun, nasi sudah menjadi bubur.
Sebetulnya Milan memiliki jalan pintas dalam penyelesaian masalah ini. Untuk menyeimbangkan neraca keuangan, manajemen cukup menjual hampir semua pemain bintang lalu menjalani beberapa musim sebagai tim medioker sampai neraca keuangan kembali seimbang.
Ketika waktunya tiba nanti, mereka baru bisa kembali belanja besar-besaran dan mencapai target yang lebih terencana. Namun, apakah Milanisti mau menunggu lebih lama lagi?