INDOSPORT.COM - Ole Gunnar Solskjaer lebih dahulu berkecimpung di dunia kepelatihan daripada Frank Lampard. Tapi kenapa keduanya meraih hasil berbeda musim ini di Liga Inggris, bersama Manchester United dan Chelsea.
Manchester United tampil mengecewakan di kompetisi Liga Inggris musim 2019-2020 ini, karena hingga pekan ke-10 mereka masih berkutat di papan tengah bertengger di posisi ke-7 dengan koleksi 13 poin.
Setan Merah baru merasakan tiga kali kemenangan, 4 kali imbang, dan sudah tiga kali menelan kekalahan. Terbaru, mereka menang atas Norwich dengan skor 3-1 pada Minggu (27/10/19) kemarin.
Bagi tim sekelas Manchester United yang dikelilingi sederet pemain bintang dunia, hasil tersebut tentunya bukanlah sebuah pencapaian yang bagus.
Kondisi ini terjadi sejak Man United ditinggal pelatih legendaris mereka, Sir Alex Ferguson pada 2013 lalu. Sederet juru taktik yang menggantikannya, belum mampu mengembalikan kejayaan tim yang sudah meraih 20 gelar Premier League itu.
Termasuk pelatih saat ini, Ole Gunnar Solskjaer. Dirinya sempat memberikan angin segar kala ditunjuk sebagai caretaker menggantikan Jose Mourinho pada Desember 2018 lalu.
12 pertandingan dilalui Man United bersama Ole tanpa kekalahan di semua kompetisi musim lalu. Catatan itu membuat manajemen terpukau, dan memberinya kontrak permanen hingga tahun 2022 dan meninggalkan klub lamanya, Molde FK.
Sayangnya, sejak ditunjuk sebagai pelatih tetap Solskjaer justru kehilangan magisnya. Mereka terseok-seok di sisa kompetisi 2018-2019.
Performa negatif itu terbawa ke kompetisi musim 2019-2020 ini. Di Liga Inggris, mereka sempat kesulitan meraih kemenangan dalam tiga laga beruntun, sebelum akhirnya diakhir kala menang melawan Norwich.
Hal tersebut membuat mereka kini terlempar dari persaingan gelar juara, karena terpaut cukup jauh dari pemuncak klasemen sementara, Liverpool dengan koleksi 28 poin.
Bahkan kiper utama mereka, David De Gea pun bingung dengan performa timnya yang sangat kacau musim ini. Ia pun meminta maaf telah mengecewakan banyak fans.
"Kami bertahan dengan bagus, namun kami tidak membuat banyak peluang di setiap pertandingan. Jujur saya tidak tahu apa yang sedang terjadi," kata De Gea seperti dilansir Sky Sports.
"Memang benar banyak pemain cedera tetapi itu bukan alasan. Kami adalah MU dan kami harus memenangkan banyak pertandingan," kiper asal Spanyol itu menambahkan.
"Sekarang memang periode tersulit sejak saya bergabung. Kami minta maaf pada fans dan kami akan tetap berjuang."
Performa Manchester United berbanding terbalik dengan tim big six lainnya, Chelsea yang juga sedang mengalami transisi bersama pelatih baru dan sekaligus legenda mereka, Frank Lampard.
The Blues sempat tampil buruk di awal kompetisi, karena sulit meraih kemenangan dalam tiga laga perdana. Dibantai oleh Manchester United dengan skor 4-0 di pekan pertama Liga Inggris musim ini.
Kalah adu penalti 6-7 dari Liverpool di Piala Super Eropa, dan ditahan imbang 1-1 oleh Leicester City di pekan ke-2. Rentetan negatif itu membuat posisi Lampard tertekan.
Namun perlahan, mantan gelandang Timnas Inggris ini berhasil membuktikan dirinya pantas menangani tim sekelas Chelsea, meski belum mempunyai pengalaman menangani tim besar.
Lampard mampu membawa Olivier Giroud dan kawan-kawan meraih kemenangan beruntun dalam tujuh pertandingan terakhir, di semua kompetis. Saat ini, mereka berada di jalur empat besar Liga Inggris.
Perbedaan Kualitas Lampard dan Solskjaer
Lantas apa yang menyebabkan dua tim tersebut mengalami nasib berbeda? Padahal Lampard merupakan seorang pelatih 'kemarin sore', sedagkan Solskjaer sudah lebih dahulu berkecimpung ke dunia kepelatihan.
Jawabannya adalah kondisi internal tim dan gaya melatih. Di Chelsea, konflik internal nyaris tidak ada. Semua pemain enjoy dengan gaya melatih Lampard.
"Setelah awal yang agak sulit, segalanya menjadi lebih baik saat ini. Kami menikmatinya dengan Frank (Lampard)," kata bek Chelsea, Marco Alonso dilansir dari laman resmi Chelsea.
"Ketika Anda bekerja sangat keras dan kemudian Anda melihat tim menjadi lebih baik, Anda menikmati latihan, Anda mendapatkan hasil, itu bahkan lebih memuaskan. Kami sangat senang dengan manajer baru dan menantikan lebih banyak lagi."
Selain itu, Lampard juga pandai memotivasi anak asuhnya dan mengombinasikan antara pemain muda dengan senior di dalam tim.
"Ada banyak pemain baru yang memiliki kesempatan dan menunjukkan nilai mereka. Mereka melakukannya dengan sangat baik. Mereka telah membawa energi yang sangat baik ke tim, dan itu bercampur dengan pengalaman yang dimiliki para pemain yang lebih tua, keseimbangan dalam tim berjalan sangat baik dan kami semua menikmati momen ini," ungkap Alonso.
Nasib berbeda dialami oleh Solskjaer di Manchester United. Konflik internal antara staf pelatih, manajemen dan pemain berpangaruh sangat kuat terhadap performa mereka di lapangan.
Selain itu, Solskjaer juga tidak mampu mengombinasikan antara pemain senior dengan pemain muda racikannya, meski sudah dibantu oleh mantan asisten Sir Alex, Mike Phelan.
"Sangat cepat merosot. Tentu saja kami memiliki awal yang fantastis. Semua orang menikmati diri mereka sendiri, karena kami mulai memenangi permainan," kata Solskjaer dikutip dari situs resmi Man United pada Mei 2019 lalu.
"Itu manusiawi - ketika Anda memenangi permainan, Anda percaya diri, Anda tersenyum, Anda menikmati diri sendiri. Tiba-tiba kami mendapat beberapa cedera dan sudah naik turun selama dua bulan terakhir, itulah sepak bola. Itu manusiawi. Ini tim. Ini tidak seperti (bermain) Football Manager," sambungnya.
Karier Kepelatihan Lampard dan Solskjaer
Frank Lampard mengawali karier kepelatihannya menangangi Derby County tahun 2018, dan berhasil membawa timnya itu ke final play-off Championship 2018/19.
Sayang, dirinya gagal memberikan tiket promosi karena kalah 1-2 dari Aston Villa. Usai itu, Lampard hengkang dan mengambil kesempatan melatih mantan timnya.
Di awal kariernya, pria berusia 46 tahu itu sangat gemilang. Ia berhasil menorehkan sejarah, kala membawa Molde FK meraih gelar juara liga untuk pertama kalinya, setelah menanti 100 tahun.
“Klub telah menantikan gelar ini selama 100 tahun. Dalam beberapa kesempatan (musim) kami nyaris berhasil mendapatkannya. Jadi, hasil ini saya rasa pantas kami dapatkan," ujarnya pada 2011 lalu.
Di tahun keduanya, mereka kembali meraih gelar juara liga pada musim 2011-2012. Akan tetapi magisnya hilang, ketika melatih tim di kompetisi yang kompetitif.
Ia sempat ditunjuk menjadi juru taktik Cardiff City pada tahun 2014. Namun dirinya gagal menyelamatkan Cardiff dari jurang degradasi pada musim tersebut, di mana saat itu finis di dasar klasemen.
Dari 30 laga yang dilaluinya bersama The Bluebird, ia hanya mencatatkan sembilan kemenangan, lima imbang, dan 16 kalah di Liga Inggris.