INDOSPORT.COM - Penampilan impresif tim promosi LaLiga Spanyol, Granada, mengingatkan kita pada kisah 'dongeng' Leicester CIty di Inggris.
Granada berjaya di tabel teratas pekan ke-10 LaLiga Spanyol dengan perolehan 20 poin, unggul satu poin dari Barcelona yang baru memainkan sembilan laga akibat penundaan El Clasico.
Tim besutan Diego Martinez musim lalu masih bermain di kasta kedua Liga Spanyol, Segunda Division. Meski berstatus tim promosi, El Grana langsung bisa memberi kejutan.
Di pekan ke-5 saja, Barcelona sukses ditaklukkan dengan skor 2-0. Kesuksesan tersebut menjadi bukti kehebatan Granada musim ini.
Spanyolisasi Skuat Granada
Tak ada yang menyangka Granada bisa melangkah sampai sejauh ini di LaLiga. Maklum saja, Granada merupakan tim promosi dari divisi Segunda.
Sebelum tahun ini, musim terakhir Granada di LaLiga berakhir memalukan pada Mei 2017. Kala itu, mereka finis dengan total 20 poin di bawah bimbingan Adams, manajer keempat mereka musim itu.
Namun, jatuhnya Granada ke jurang degradasi merupakan awal dari apa yang kita lihat saat ini. Pelatih mereka saat itu, Tony Adams, menanamkan benih untuk kesuksesan tim ketika itu di antaranya dengan memberikan rekomendasi penting kepada pemilik klub, John Jiang.
Dalam rekomendasi itu Adams menyarankan agar klub melakukan restrukturisasi skuat dengan memperbanyak talenta asal Spanyol.
"Ketika Adams mengambil alih, hanya ada lima pemain Spanyol dalam satu skuat yang terdiri dari 28 pemain yang menampilkan 20 kebangsaan berbeda,"
"Adams bersikeras bahwa Jiang harus merestrukturisasi klub dengan fokus pada orang Spanyol - di ruang dewan, di arahan olahraga, di ruang istirahat, dan di lapangan," ungkap seorang Jurnalis asal Inggris sekaligus fans Granada, Heath Chestgers, seperti dilansir dari BBC (28/10/19).
Pemilik klub, John Jiang, pun langsung menyanggupi hal itu. Investor asal China itu memberikan identitas lokal baru pada Granada.
Dengan cepat, John Jiang memberikan stabilitas yang telah hilang. Musim pertama Granada di Segunda mereka finis di posisi ke-10 yang relatif memuaskan.
Bahayanya Granada di Bawah Diego Martinez
Titik balik kebangkitan Granada selanjutnya terjadi ketika manajemen memutuskan menunjuk manajer baru muda dan dinamis atas nama Diego Martinez.
Awalnya banyak yang sangsi alias meremehkan kualitas seorang Diego Martinez yang masih berusia 37 tahun.
Namun, keputusan manajemen menunjuk Diego Martinez ternyata tepat. Eks pelatih tim junior Sevilla itu perlahan mampu membawa Granada ke performa terbaik mereka.
Di bawah kepemimpinan Martinez yang tenang namun memiliki tujuan, Granada sangat solid sepanjang musim 2018-19 hingga akhirnya promosi dengan hanya kebobolan 28 gol dalam 42 pertandingan.
Granada pun menatap musim 2019-2020 di kasta teratas LaLiga Spanyol. Namun begitu, banyak yang masih meyakini bahwa petualangan mereka di LaLiga bakal diisi perjuangan keluar dari zona degradasi. Namun, anggapan mereka semua salah.
Tim besutan Diego Martinez yang musim lalu masih bermain di kasta kedua Liga Spanyol langsung bisa memberi kejutan. Di pekan ke-5 saja, Barcelona sukses ditaklukkan dengan skor 2-0. Kesuksesan tersebut menjadi bukti kehebatan Granada musim ini.
Granada berjaya di tabel teratas pekan ke-10 LaLiga Spanyol dengan perolehan 20 poin, unggul satu poin dari Barcelona yang baru memainkan sembilan laga akibat penundaan El Clasico.
Kesuksesan Granada memuncaki klasemen Liga Spanyol lagi-lagi tak lepas dari pertahanan yang solid. Hal tersebut terlihat dari jumlah kebobolan mereka.
Granada rajin mencatatkan hasil clean sheet. Sejauh ini telah enam clean sheet diraih, terbanyak kedua setelah Atletico Madrid yang meraih tujuh clean sheet.
Kehebatan lain yang dimiliki Granada adalah set piece atau bola mati. Dibandingkan klub LaLiga Spanyol lain, Granada mampu menciptakan gol bola mati paling banyak.
Granada berhasil mencetak gol lewat bola mati sebanyak lima kali, hanya selisih tiga (8) melalui situasi permainan terbuka (open play).
Granada merupakan tim yang tangguh dalam mempertahankan keunggulan. Setiap kali mencetak gol terlebih dahulu, mereka selalu meraih kemenangan.
Setiap kemenangan Granada memang berakhir dengan clean sheet. Namun, apabila kebobolan terlebih dahulu, mereka pasti bermain imbang atau bahkan kalah.
Dongeng Leicester City di Andalusia
Kisah ajaib Granada ini pun sampai membuat media Spanyol membuat tajuk 'Leicester City yang Baru'. Istilah ini merujuk pada bagaimana sebuah tim kecil mampu memuncaki liga layaknya Leicester City di Inggris beberapa musim silam.
Pada musim 2015–2016 lalu, Leicester City secara sensasional mampu menjuarai Liga Primer Inggris. Mengoleksi 81 poin, Leicester tampil di puncak mengangkangi Arsenal, Tottenham Hotspur, dan bahkan Manchester City.
Leicester City yang saat itu dilatih oleh Claudio Ranieri pun bagaikan kisah dongeng di Inggris. Bagaimana tidak, tim yang biasanya berkutat di papan tengah dan bahkan kasta bawah mampu menjuarai liga terbaik di dunia.
Kesuksesan inilah yang diyakini bisa menular ke klub Granada di LaLiga. Namun, tentu hal itu membutuhkan banyak pembuktian.
Saat ini, masih ada 28 laga terbentang di sisa musim ini. Segalanya masih bisa terjadi, apakah Granada mampu mempertahankan posisinya di papan atas, atau berujung finis di papan tengah.
Bertahan di LaLiga memang menjadi target dari pemilik anyar mereka John Jiang setelah promosi dari Segunda musim lalu. Namun, bisa bermain di Eropa musim depan tentu akan jadi bonus yang sangat menyenangkan bagi manajemen dan fans Granada.