INDOSPORT.COM – Musim ini mungkin adalah musim terbaik Leicester City setelah musim di mana mereka berhasil meraih gelar Liga Inggris pada 2015/16 lalu.
Berada di peringkat kedua klasemen sementara dan hanya terpaut 8 poin dari Liverpool di puncak klasemen membuat anak-anak asuhan Brendan Rodgers ini menjadi pesaing serius Liverpool dalam perebutan gelar juara.
Apalagi setelah mereka tidak terkalahkan dan selalu meraih kemenangan dalam 8 laga terakhir Liga Inggris yang mereka mainkan, membuat penampilan atraktif mereka mau tidak mau mengingatkan kita pada Leicester era Claudio Ranieri tahun 2015 yang lalu.
Dilansir dari The Telegraph, berikut adalah komparasi antara Leicester era Ranieri dan Leicester era Rodgers sekarang. Mengingat mereka sama-sama tampil menawan dan ikut dalam perburuan gelar Liga Inggris.
Lini Belakang
Lini belakang Leicester saat mereka memenangkan Liga Inggris pada tahun 2015 yang lalu selalu membuat penasaran. Bagaimana bisa pada paruh musim pertama mereka kebobolan 25 gol lalu hanya kebobolan 11 gol pada sisa musim 2015/16.
Tetapi, 36 gol yang masuk ke gawang mereka adalah yang tersedikit kedua di Liga Inggris, setelah Manchester United dan Tottenham Hotspur mengoleksi jumlah kebobolan yang sama, 35 gol. Sedangkan 36 gol yang masuk ke gawang Leicester sama dengan jumlah gol yang masuk ke gawang Arsenal.
Sementara di musim 2019/20 ini, mereka baru kebobolan 10 gol dan menjadi tim yang memiliki jumlah kebobolan paling sedikit di Liga Inggris jelang paruh musim ini. Jumlah kebobolan mereka bahkan lebih sedikit dari Liverpool yang saat ini berada di posisi satu klasemen sementara.
Jika pada tahun 2015 mereka sangat bergantung pada duo Robert Huth dan Wes Morgan, maka pada tahun ini, solidnya jantung pertahanan mereka ada dalam sosok Jonny Evans dan Caglar Soyuncu yang sama-sama memperlihatkan penampilan bertahan kelas dunia.
Dan, jangan lupakan Kasper Schmeichel, sosok palang pintu andalan The Foxes yang tampaknya tampil semakin menawan seiring beranjaknya usia.
Lini Depan
Ada satu kesamaan antara Leicester era 2015 dan Leicester era 2019, yaitu ketajaman Jamie Vardy di depan gawang lawan. Saat ini, dia selalu mencetak gol di 8 pertandingan secara beruntun dan sepertinya dirinya akan memecahkan rekor yang dia buat pada 2015, di mana dia mencetak gol di 11 pertandingan secara beruntun.
Vardy akan menginjak usia 33 tahun pada bulan Januari besok, tetapi dia tidak terlihat makin lamban dan masih ketagihan untuk mencetak gol demi gol.
Taktik
The Foxes meraih gelar juara dengan 4-4-2 yang sederhana namun mematikan. Kunci pada permainan Ranieri saat itu ada di dalam sosok N’Golo Kante dan serangan balik cepat mereka. Hal tersebut kemudian berpengaruh pada penguasaan bola mereka yang biasanya rendah.
Kante yang seakan mempunyai 5 paru-paru berusaha terus menerus menekan lawan dan saat bola sudah berpindah ke dirinya atau pemain Leicester lain, maka mereka akan mengirimkan umpan terobosan kepada duo pelari mereka, Vardy dan Riyad Mahrez.
Sementara era Rodgers, Leicester bermain dengan tempo dan penguasaan bola yang tinggi. Umpan cepat dari kaki ke kaki selalu terlihat dalam permainan Leicester musim ini. Saat ini, Rodgers lebih sering memakai 4-1-4-1 dan menempatkan Wilfried Ndidi di posisi yang biasanya diperankan oleh Kante.
Hasilnya adalah 39 gol berhasil mereka sarangkan ke gawang lawan. Catatan gol terbaik ketiga jelang paruh musim ini dan hanya kalah dari Manchester City serta Liverpool yang masing-masing mengoleksi 44 dan 40 gol.
Apakah Brendan Rodgers mampu mengulangi kisah manis Leicester di Liga Inggris musim ini? Mengingat aura positif yang ada di ruang ganti dan berpadu dengan pemain-pemain yang tepat. Jika kemudian Leicester akhirnya keluar sebagai juara, rasa-rasanya bukan keberuntungan yang mengantarkan mereka pada gelar juara tersebut.