INDOSPORT.COM - "BPD Jateng belum siap juara,"ungkap Jaya Hartono mencoba menirukan ucapan mantan Direktur BPD Jateng, almarhum Panoet Harsono jelang putaran kedua Galatama musim 1992/1993.
Saat berbincang dengan INDOSPORT, Sabtu (11/04/20), Jaya menyiratkan jika kalimat tersebut seakan jadi petir yang menyambar skuat BPD Jateng kala itu. Semangat dan performa apik selama putaran pertama rontok dan bak pesawat yang jatuh dari langit memasuki putaran kedua.
Pasukan The Blue Force yang sempat jadi juara paruh musim harus merelakan gelar kampiun jauh ke Arema Malang. Musim itu mungkin yang 'terbaik' bagi klub berlatar belakang bank milik pemerintah.
Jawa Tengah khususnya publik pecinta sepak bola di Kota Semarang sempat memiliki klub hebat bernama BPD Jateng. Bahkan gaung pasukan The Blue Force mengalahkan PSIS Semarang di musim 1992/1993.
Betapa tidak, mereka punya skuat The Dream Team yang berisikan materi pemain-pemain nasional dan Timnas Indonesia. Mulai dari kiper Erick Ibrahim, lalu Darma Rachman, Hamdani Lubis, Jaya Hartono, Jessie Mustamu, Widyantoro, Eri Kusnan, Jefridien Anwar. Hingga dua pemain yang musim sebelumnya membawa Arseto Solo juara, Inyong Lolombulan dan Ricky Yacobi.
Diracik pelatih kawakan Halilintar Gunawan, BPD Jateng menjelma jadi klub superior. Statistik menterengnya, mereka hanya mengalami sekali kalah dari 16 laga sepanjang putaran pertama dan nyaman di puncak klasemen dan menjadi rekor tersendiri di era Galatama.
Jaya menjelaskan, saat jeda paruh musim, para pemain dan ofisial menggelar sarasehan dengan pengurus dan manajemen. Dalam pertemuan itu, para pemain senior memberi tantangan kepada pengurus BPD Jateng jika nanti tim yang mereka bela saat itu keluar sebagai juara di akhir musim.
"Tapi mental dan motivasi semua pemain langsung rontok saat diangap belum siap juara. Ya hasilnya di paruh kedua kahirnya kita kalah terus dan seri, serta hanya sekali menang," ujar Jaya.
"Karena tujuan kita sudah tidak ada lagi saat putaran kedua. Sehingga kami tidak punya motivasi bermain, hanya menjalankan tugas menyelesaikan kompetisi. Padahal putaran pertama, jarak poin kita dengan peringkat kedua sangat jauh," ucap pelatih PSCS Cilacap tersebut.
Hal senada juga dikatakan bomber muda sekaligus the rising star musim itu, Widyantoro. Pelatih Persijap Jepara itu tak menampik menurunnya performa di putaran kedua yang membuat BPD Jateng anjlok dan gagal juara.
"Memang saat itu pemain-pemain senior meminta kejelasan kalau nanti juara seperti apa, namun tidak menemukan jawaban yang memuaskan. Ya karena saya pemain muda saat itu mengikuti saja," ungkap Widyantoro.
"Hasilnya berbanding terbalik dari putaran kita hanya sekali kalah. Lalu paruh kedua kita malah hanya sekali menang dan untungnya masih bisa finish di papan tengah," tambah sosok yang akrab disapa Wiwid tersebut.
Sebagai pemain muda, sosok berusia 49 tahun itu tak bisa melupakan musim saat itu. Apalagi Wiwid tampil apik dengan torehan 15 gol sepanjang musim plus berduet dengan Ricky Yacobi yang menjadi bomber andalan Timnas Indonesia.
"Beliau pemain senior saat itu dan saya memang banyak mendapat bimbingan. Apalagi bang Ricky kan pemain nasional," tukasnya.
Gajian Sistem Pegawai Bank
Ada hal unik dalam tata kelola manajemen BPD Jateng saat itu, termasuk perihal gaji. Sistem penggajian para pemain dan pelatih dilakukan per tanggal 1 tiap bulannya, seperti sistem pegawai bank.
Hanya saja, lanjut Jaya, permasalahan sedikit pelik muncul dalam hal pemberian bonus kemenangan. Saat itu, bonus kemenangan juga diberikan tiap tanggal 1.
"Artinya kalau kita main tanggal 2 atau 10 dan menang ya ambil bonusnya bulan depan. Padahal saat itu kehidupan kita berharap dari bonus saja, karena gaji itu tidak sebesar seperti sekarang," ungkanya.
"Karena bonus itu bisa untuk kelangsungan hidup seperti kontrak rumah dan lain-lain. Kondisi ini mungkin tidak dialami tim-tim lain yang biasanya kalau menang ya bonusnya cair saat itu juga atau paling lambat satu sampai dua hari setelah pertandingan," kata mantan pelatih Persib Bandung itu.
Suporter Membludak di Jatidiri
Bicara soal antusiasme suporter, kedua sosok itu sepakat jika BPD Jateng kala itu mendapat dukungan penuh dari 20 ribuan penonton. Bahkan, The Blue Force terpaksa 'pindah' kandang dari Stadion Citarum ke Jatidiri.
"Awalnya kita memang bermain di Citarum. Karena menang terus dan penonton banyak sehingga tidak cukup, akhirnya pindah ke Stadion Jatidiri," ucap Jaya.
Hal senada juga dikatakan Widyantoro. Bahkan pelatih yang melejit bersama Persis Solo itu punya pengalaman tersendiri saat laga kandang di Stadion Jatidiri.
"Dulu mau masuk ke lapangan saja susah mas. Kita dari jalan raya sudah penuh penonton sampai gapura pintu komplek GOR Jatidiri. Mungkin saat itu jadi rekor jumlah penonton," ucap dia.
Kini, klub BPD Jateng tinggal kenangan bagi pecinta sepak bola nasional, khususnya Semarang. Perjalanan mereka hanya sampai di kompetisi Liga Indonesia II sebelum akhirnya bubar.