Lembar yang Hilang: Ritham Madubun, Mutiara Hitam dari Tanah Evav
Pasca Persipura tampil di edisi perdana kompetisi profesional Ligina I tahun 1994/1995, kapten tim kala itu, Ferdinando Fairyo, memutuskan untuk pensiun dini karena alasan pekerjaan.
Ban kapten pun disematkan pada lengan Ritham di musim kedua Ligina tahun 1995/1996. Ritham menjadi pemain migran (non kelahiran Papua) pertama yang menyandang kapten di tim Mutiara Hitam. Saat itu, Persipura dilatih oleh pelatih legendaris asal Sumatera Utara, Tumpak Sihite.
Pemilihan Ritham sebagai kapten kala itu bukan tanpa alasan. Ia dinilai sebagai pemain yang konsisten dan cakap saat bermain.
"Pada saat itu, tidak ada julukan khas untuk dia, tetapi di kalangan internal, mereka menyebutnya seperti Roberto Carlos, karena mainnya mirip. Tetapi, julukan di masyarakat tidak ada. Dia main selalu dapat nomor punggung 3," kenang Rustam.
Di eranya sebagai kapten tim, Persipura memang tak dibawanya sebagai juara. Namun, Ritham dan kolega kala itu sanggup mengantarkan Persipura ke babak semifinal Ligina II dan babak 12 besar Ligina III tanpa diperkuat oleh pemain asing. Itu menjadi pencapaian tertinggi Persipura di kompetisi sepak bola profesional, pasca perserikatan dan galatama.
Berkat penampilan apiknya bersama Persipura, Ritham pun diboyong ke Timnas Indonesia. Ia bersama rekannya, Ronny Wabia, masuk dalam skuat Timnas Indonesia di Piala Asia 1996.
"Kita sekeluarga bangga dan senang, karena saat itu tidak banyak orang pendatang (migran) yang mampu bersaing dalam sepak bola. Kita tahu sendiri bahwa bakat anak-anak Papua dalam sepak bola itu luar biasa, jadi kalau ada pendatang yang bisa bersaing pasti ada kebanggaan tersendiri. Waktu itu, di Persipura ada Ritham dan Ronny Syaranamual (almarhum juga)," ujar Bento.
Ritham bertahan dan menjadi kapten tim Persipura selama dua musim hingga tahun 1997. Setelah sembilan tahun mengabdikan hidupnya untuk Persipura, Ritham lantas memutuskan hengkang ke PSM Makassar pada Ligina IV. Saat itu, tak hanya suporter, orang tua Ritham juga kecewa saat ia memutuskan pindah ke PSM Makassar.
"Waktu Ritham mau ke PSM itu sebenarnya Bapak saya tidak setuju, tapi entah kenapa tiba-tiba Ritham akhirnya memilih hengkang," kenang Bento.
Di PSM, Ritham bertahan selama dua musim (1997-1999), hingga akhirnya ia berpindah-pindah ke sejumlah klub mulai dari Persikota Tangerang, Persija Jakarta, Pelita Jaya, PSPS Pekanbaru, Persma Manado, dan Persitara Jakarta Utara.
Setelahnya, Ritham mengakhiri petulangannya di Tanah kelahirannya, Tual. Ritham memutuskan pulang karena menderita stroke. Kondisinya sempat membaik setelah menjalani pengobatan tradisional, ia memutuskan menjadi pelatih di klub PS Malra di divisi II Liga Indonesia.
"Saat jadi pelatih, klubnya sempat bermain melawan Perseman Manokwari yang kebetulan asisten pelatihnya saat itu Ronny Wabia (teman seangkatan Ritham di Persipura)," kata Rustam.
1 Agustus 2013, takdir pula yang membawanya pulang lebih cepat menghadap yang Kuasa. Ritham menghembuskan napas terakhir di kampung halamannya dalam usia 42 tahun, bersamaan dengan Persipura yang meraih gelar juara keempat Liga Indonesia.
Ritham meninggalkan 4 orang anak. Dan meninggalkan romansa indah selama memulai petualangannya dari PPLP Papua angkatan pertama hingga era baru Persipura di kompetisi profesional.