INDOSPORT.COM - Pada dekade 90-an sampai awal 2000-an klub Leeds United dikenal sebagai salah satu tim kuat di Liga Inggris. Namun, di masa kini nama Leeds United sinonim dengan keserakahan, salah asuh, dan kebangkrutan.
Liga inggris begitu istimewa dengan berbagai cerita klub-klub di dalamnya. Klub-klub di sana bahkan jadi contoh terbaik iklim dunia sepak bola.
Jika kita berbicara soal klub kaya baru, maka yang keluar pertama di pikiran kita adalah Chelsea dan Man City. Jika kita membicarakan klub raksasa yang tegah tersungkur maka Manchester United adalah kandidatnya.
Begitu pun saat kita berkelakar soal siapa klub malang yang harus puasa gelar liga puluhan tahun. Liverpool pasti jadi jawabannya.
Namun, di atas semua itu tak ada yang seikonik klub Leeds United. Kesebelasan asal Yorkshire ini menjadi representasi serius bagi tim-tim yang mengalami kejatuhan di Inggris Raya.
Doing a Leeds merupakan sebuah frasa sepak bola Inggris yang identik dengan konsekuensi terburuk bagi klub domestik yang jadi korban kesalahan manajemen keuangan.
Ungkapan ini muncul setelah terjadi kejatuhan beruntun kepada Leeds United. Berinvestasi besar-besaran pada awal tahun 2000-an namun secara perlahan tenggelam sampai ke kasta terbawah.
Secara pengertian, frasa ini mengajak tim sepak bola untuk tak mengulangi kesalahan yang diperbuat oleh klub dengan warna kostum kebesaran putih itu.
Kejatuhan Leeds United
Leeds United memberikan kesan mendalam bagi Liga Primer Inggris. Leeds United merupakan satu dari 22 tim original yang berkompetisi di Liga Primer Inggris edisi pertama pada 1992.
Leeds memiliki nama besar di sepak bola Inggris. Pada periode tahun 1963-1974 Leeds United selalu finis di empat besar. Sebanyak dua musim di antaranya berhasil mereka akhir sebagai juara.
Prestasi ini kembali coba diulangi pada periode 1989-1992 di mana mereka merengkuh dua gelar juara liga. Maka dari itu, menyongsong pembentukan Liga Primer Inggris pada Februari 1992, Leeds masuk ke dalam golongan tim elite.
Sayang, musim perdana mereka begitu buruk. Namun penampilan mereka berangsur membaik dan kembali diperhitungkan di pertengahan dan pengujung tahun 90-an.
Puncaknya ketika mereka sanggup finis di posisi ketiga klasemen musim 1999-2000, prestasi terbaik mereka di era Liga Primer sampai saat ini. Kebangkitan Leeds di akhir 90-an dan awal 2000-an tak terlepas dari investasi besar yang mereka lakukan.
Pengeluaran Leeds untuk kembali merajai sepak bola Inggris melebihi tim mana pun. Namun, konsekuensi yang mereka terima juga sangat besar.
Leeds jadi tim terboros dalam bursa transfer dan penggajian pemain. Di bawah pelatih O'Leary, Leeds mendatangkan pemain-pemain potensial seperti Jonathan Woodgate, Mark Viduka, Alan Smith, Robbie Fowler, Ian Harte, sampai Lee Bowyer.
Status The Big Four kembali mampu mereka rebut kembali. Bahkan, Leeds sanggup menembus semifinal Liga Champions 2000-2001.
Ternyata, belanja boros dan pengeluaran gila-gilaan klub di bawah pelatih O'leary membuat manajemen pusing. Secara drastis klub mengalami defisit keuangan yang sangat parah.
Mulai diperparah ketika mereka gagal tembus ke Liga Champions di akhir musim 2001-2002. Pendapatan mereka berkurang dan mulai terjerat utang karena buruknya perencanaan finansial.
Langkah pertama yang manajemen lakukan adalah memecat pelatih mereka O'leary yang dinilai boros. Sejumlah bintang seperti Jonathan Woodgate terpaksa dilego ke klub lain.
Kondisi ini ternyata tak kunjung membaik. Prestasi mereka terus anjlok hingga finis di posisi ke-15 (2002-2003) dan puncaknya terdegradasi pada akhir musim 2003-2004 setelah finis di posisi ke-19.
Musim 2003-2004 jadi akhir petualangan Leeds di kasta teratas Liga Inggris. Mereka terus tenggelam terlebih ketika 2007 dinyatakan bangkrut.
Cerita kejatuhan seperti Leeds memang jarang dialami klub papan atas Liga Inggris yang dikenal memiliki keuangan yang sehat. Maka tak heran, frasa 'Doing a Leeds' begitu diingat di telinga publik sepak bola Inggris.