INDOSPORT.COM - Ternyata tak semua orang yang berada dalam industri sepak bola benar-benar bisa mencicipi kegemerlapan, kaum buruh salah satunya.
Sepak bola dan euforia menjadi dua hal yang tak bisa dipisahkan. Di mana ada sepak bola, di situlah euforia berada.
Dari mulai riuh puluhan ribu suporter di stadion, euforia juga menular ke jutaan pasang mata di depan laya kaca. Dan yang yang paling penting adalah gemerlap bisnis sepak bola itu sendiri.
Industri sepak bola terus mengalami perkembangan pesat. Perputaran uang triliunan rupiah terjadi di dalamnya.
Klub-klub kaya rela membelanjakan banyak uang untuk membeli dan menggaji pemain-pemain mahal. Para pemain sepak bola pun hidup dalam kemewahan dan pesta pora.
Lebih dari sekadar laga 90 menit di lapangan, sepak bola menjadi lumbung pemasukan bagi banyak stakeholder di dalamnya.
Sayang, di balik gemerlap dunia sepak bola, ada tangis ribuan orang di baliknya. Ternyata tak semua orang yang berada dalam industri sepak bola benar-benar bisa mencicipi kegemerlapan.
Salah satunya adalah kaum buruh. Mereka menjadi elemen penting yang ironisnya kerap terlupakan.
Para buruh menjadi aktor utama di balik keberadaan bola yang dimainkan di pertandingan, sampai sepatu dan jersey yang dikenakan pemain.
Di balik silaunya nama besar perusahaan seperti Nike dan Addidas, ada ribuan buruh yang bekerja di dalamnya. Sayangnya, penghargaan terhadap mereka seringkali tak seimbang.
Memperingati hari buruh sedunia yang jatuh pada hari ini, 1 Mei 2020, ingatan kita pun membawa pada perjuangan para buruh Nike di Indonesia beberapa waktu lalu.
Harganya Selangit, Buruhnya Dicekik
Sebagai negara berkembang dengan upah pekerja yang lebih rendah di banding negara lain, Indonesia (bersama dengan Vietnam dan lainnya) jadi sasaran empuk bagi para produsen peralatan olahraga untuk membangun pabrik dan memproduksi barang.
Pada 1 Mei 2019 lalu, para buruh dari perusahaan sepatu Nike ramai-ramai berdemo menyampaikan tuntutannya untuk mendapatkan upah layak.
Nike sebagai perusahaan raksasa dalam bidang olahraga dunia dikenal memiliki kualitas produk dengan harga mahal. Sepasang sepatu Nike umumnya dihargai lebih dari 1 juta rupiah. Belum lagi beragam edisi khusus dengan harga yang buat kepala kaum menengah ke bawah geleng-geleng.
Sayang, meski menjadi produsen peralatan olahraga ternama dunia, mereka dianggap belum bisa memberikan penghargaan yang layak untuk para buruh. Hal ini tersampaikan pada salah satu tuntutan yang disuarakan di Hari Buruh tahun lalu.
"Menuntut kepada perusahaan pemegang merk Nike untuk bertanggung jawab pada buruhnya dan segera menghentikan perampasan atas upah layak dan kerja layak bagi buruh Indonesia," ujar Koordinator Komite Aksi Perjuangan Buruh Nike, Bangkit, dikutip dari Antara (01/04/20).
Para buruh Nike menuntut agar perusahaan pemasok dan perwakilannya di Indonesia menjalankan Protokol Kebebasan Berserikat dan Undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Sama seperti kebanyakan produsen lainnya, baik Nike maupun Adidas diketahui masih menganut sistem kerja kontrak dan outsourcing pada rantai produksi mereka. Hal ini dianggap membuat buruh makin tercekik.
"Produk Nike Indonesia harganya selangit, buruhnya dicekik," kata para buruh yang berdemo.
Tangisan Piala Dunia dan Para Buruh
Sepak bola tak melulu soal senang. Sepak bola juga memiliki tangis di dalamnya. Semisal kegagalan Lionel Messi merengkuh Piala Dunia 2018 atau kegagalan Liverpool di final Liga Champions 2018-2019.
Namun, di saat bersamaan, tangisan Messi juga menular kepada para buruh. Bedanya, buruh tak menangisi trofi Piala Dunia, melainkan upah layak untuk mereka hidup.
Dikutip dari buruh.co, harga sepatu khusus milik Lionel Messi (Nemeziz 18+) yang dijual Adidas mencapai sekitar 290 dollar. Jika dikalikan dengan kurs saat ini, maka akan didapat angka hampir 4,3 juta per sepatu.
Dari hitungan ini maka bisa diketahui bahwa harga satu sepatu edisi Lionel Messi yang dicetak massal di dunia, lebih tinggi dari upah bulanan buruh sepatu yang memproduksi merk tersebut.
Pabrik di Tangerang misalnya, pada 2019 merek memiliki sekitar 2000 orang buruh dan sebanyak 3/4 nya adalah wanita. Dengan produksi sepatu per jam 100 pasang, maka kemampuan produksi satu orang buruh saja dalam sebulan bisa mencapai 8,75 sepatu per harinya.
Jika harga sepatu-sepatu reguler di kisaran 1,5 - 2 juta, maka keuntungan yang didapat produsen sepatu olahraga sangatlah tinggi. Maka tak heran para buruh menuntut untuk mendapatkan upah dan hak yang lebih layak.
Indonesia sendiri saat ini tergolong sebagai negara dengan upah buruh yang lebih besar di banding dua negara sasaran pabrik lainnya seperti Vietnam dan China.
Meski begitu, sudah sebaiknya para buruh mendapat penghargaan yang lebih pantas. Jika mereka tak mendapat pengakuan, minimal para pahlawan tersembunyi di sepak bola ini bisa menjalani hidup yang berkecukupan.