INDOSPORT.COM - Yogyakarta tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang sepak bola Indonesia. Induk organisasi sepak bola Indonesia, PSSI pun juga berdiri di Kota Gudeg.
Tak hanya itu saja, Yogyakarta juga memiliki klub yang turut meramaikan persepak bolaan Tanah Air. PSIM Yogyakarta tentu jadi poros utama. Selain klub asli kebanggan masyarakat Kota Yogya, tim Laskar Mataram juga salah satu klub pendiri PSSI.
Namun selan PSIM, Mataram Indocement juga sempat jadi idola publik masyarakat Yogyakarta baik saat era Galatama maupun Liga Indonesia setelah penggabungan kompetisi tahun 1994.
Bak bunglon, klub berkostum kuning-kuning itu memang sering bergonta-ganti nama saat di Kota Gudeg. Dimulai Perkesa 78 saat bermarkas di Sidoarjo dan berganti Perkesa Mataram usai boyongan ke Yogyakarta.
Kemudian berlanjut ke Mataram Putra, hingga Mataram Indocement. Tim itu juga berganti nama lagi menjadi Indocement Cirebon setelah hijrah ke Kota Wali.
"Jadi saat pertama merger dengan Indocement Cibinong Bogor seperti perubahan tim secara besar-besaran. Hampir semua pemain berubah termasuk kedatangan tiga pemain asing dari Brasil, salah satunya Jaldecir Deca dos Santos," kata mantan wing back Mataram Indocement, Aris Budi Sulistyo saat berbincang dengan INDOSPORT, Senin (04/05/20).
Meski bukan klub asli Yogyakarta, namun Mataram Indocement mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat. Terlebih, prestasi fenomenal mereka di Liga Indonesia II musim 1995/1996 setelah lolos ke babak 12 Besar.
Hanya saja, Mataram Indocement babak-belur di fase 12 besar. Tergabung dengan PSM Makassar, Persipura Jayapura, dan Persib Bandung di Grup C, mereka menelan tiga kekalahan sekaligus mengakhiri kiprah di musim itu.
"Sebenarnya kita sudah banyak fans saat itu bahkan sejak masih nama Perseka Mataram. Karena di Galatama kita berkompetisi setiap tahun sehingga atmosfer dan antusias suporter cukup besar," ujar Aris.
"Setiap bermain di Stadion Mandala, alhamdulillah kita mendapatkan kemenangan. Apalagi masyarakat juga terhibur dengan kehadiran pemain-pemain dunia seperti Mario Kempes dan Roger Milla (Pelita Jaya) yang melawan kami," tukas sosok yang saat ini bekerja sebagai PNS di Kabupaten Karanganyar tersebut.
Dengan sokongan dana dari Indocement, fasilitas yang didapat para pemain pun disebut Aris meningkat jauh dibanding saat masih Mataram Putra. Bahkan Indocement Mataram pindah mess yang lebih representatif untuk pemain.
"Kesejahteraan kita lumayan bagus karena ditopang pabrik Indocement. Lalu dari segi fasilitas ada peningkatan dibanding sebelumnya mulai mess, gizi, dan tentu gaji," tambah dia.
Soal fasilitas lain, Aris menyebut salah satu hal unik adalah soal sepatu yang diberikan kepada pemain. Bahkan, Mataram Indocement seperti hobi menghamburkan sepatu yang tak terbatas jumlahnya.
"Entah bagaimana kerjasamanya dengan sponsor, tapi manajemen saat itu punya stok melimpah. Misalkan sepatunya baru beberapa pertandingan digunakan, kalau sudah robek ya langsung diganti yang baru. Itu sarana prasarana yang membuat kita lebih nyaman," kenang eks pelatih Persik Kediri tersebut.
Bintang Sang Pembimbing
Gelandang sekaligus sang bintang, Inyong Lolombulan memiliki cerita tersendiri kala merasakan perubahan dari Mataram Putra ke Indocement Mataram. Terlebih, dirinya juga mendapatkan tugas berat sebagai kapten tim kesebelasan.
"Saya sebenarnya sempat sungkan dengan Felix Lasut yang lama jadi kapten. Namun bang Is (Iswadi Idris) berkata saya sebagai pemain senior juga jadi pembimbing dan panutan," ungkap Inyong.
"Pasti ada beban saat turun ke lapangan, apalagi banyak pemain muda di klub saat itu setelah merger dengan Indocement. Namun karena sudah tugas saya bekerja maksimal sambil membimbing yang muda," tambah dia.
Beban yang dia sandang memang cukup berat mengingat banyak pemain muda di tubuh Mataram Indocement. Terlebih statusya sebagai gelandang Timnas Indonesia tentu sudah jadi panutan pemain lain.
"Kalau dulu di Arseto Solo enak karena banyak pemain bintang dan juga anggota timnas. Tapi karena tugas dan tanggung jawab jadi saya nikmati saja," tegas eks pelatih Persis Solo tersebut.
Setelah pindah ke Cirebon, nama Indocement Cirebon terus menghilang bak ditelan bumi. Namun, klub itu tetap menjadi bagian dari sejarah panjang perjalanan sepak bola Indonesia.