INDOSPORT.COM - Pencinta klub sepak bola Gelora Dewata (Bali) dan Persija Jakarta mungkin tidak asing dengan legenda yang bernama Vata Matanu Garcia.
Sebelum berkarier di Liga Indonesia, Vata Matanu Garcia merupakan penyerang yang paling disegani di Eropa pada awal 1990-an. Dia pernah memperkuat sejumlah klub Portugal, salah satunya adalah Benfica.
Vata bergabung dengan Benfica dari tahun 1988 sampai 1991. Pesepakbola kelahiran 19 Maret 1961 asal Damba, Angola ini pernah merasakan gelar bersama O Glorioso, di antaranya juara Liga Portugal pada musim 1988/1989 dan 1990/1991, serta juara Piala Super Portugal pada tahun 1989.
Vata juga menjadi pemain yang paling mencuri perhatian saat membawa Benfica menembus final Piala Eropa (sekarang Liga Champions) musim 1989/1990. Kala itu, Benfica menjalani pertandingan semifinal leg kedua menghadapi Marseille pada 18 April 1990 di Estádio da Luz, Lisbon, Portugal.
Pada leg pertama, Marseille yang diperkuat pemain-pemain top pada masanya seperti Didier Deschamps dan Jean-Pierre Papin sukses mengalahkan Benfica asuhan Sven-Göran Eriksson dengan skor 2-1.
Demi mengejar agregat gol, Benfica langsung menurunkan pemain terbaiknya seperti Mats Magnusson dan Lima. Sementara Vata disimpan di bangku cadangan saat pertemuan kedua tim.
Benfica kerap kesulitan menembus pertahanan rapat Marseille di paruh pertama, Eriksson pun memutuskan untuk menambah daya gedor serangan dengan memasukan Vata Matanu pada menit ke-52. Keputusan pelatih asal Swedia memainkan Vata sangat tepat.
Vata mencetak gol pada menit ke-83 setelah menerima umpan dari Valdo melalui sepak pojok. Sontak, gol tersebut langsung disambut dengan suka cita oleh 12.000 suporter Benfica yang memadati Estadio da Luz.
Namun hasil tersebut tidak diterima oleh pemain dan staf pelatih Marseille yang menganggap Vata menggunakan tangannya saat mencetak gol ke gawang Jean Castaneda.
Vata sendiri tidak ingin mengambil pusing soal tudingan dari Marseille yang menganggapnya dia mencetak gol dengan cara 'haram'. Meski begitu, Vata tetap bersikeras bahwa gol itu tetap sah dan dia merasa mencetak gol itu dengan bahu bukan tangannya.
Sayang di final, Vata gagal membawa Benfica juara Liga Champions setelah dikalahkan AC Milan dengan skor 1-0 melalui Frank Rijkaard pada menit ke-68.
Sosok Kontroversial di Mata Publik Marseille
Sudah 30 tahun kejadian gol kontroversial tersebut, Vata mengaku masih dibenci oleh orang-orang Prancis khususnya suporter klub Ligue 1, Marseille.
"Sepertinya mereka (fans Marseille) sudah menandai saya layaknya perangko. Sekitar dua tahun lalu saya berada di Bali (Indonesia) duduk di sebuah kafe, dan seorang teman meneriakan namaku dengan keras. Dua orang anak yang ada di sana langsung mendatangiku," kenang Vata, sebagaimana dilansir dari DN.
"Saya ditanya, apakah saya Vata seorang pesepakbola? Saya menjawab iya dan mereka tidak percaya. Bahkan mereka meminta dokumen untuk membuktikan identitas saya."
"Saya pikir itu aneh dan bertanya bagaimana mereka mengenali saya. Ternyata salah satu anak mengatakan ayahnya berasal dari Marseille dan ikut menonton langsung pertandingan melawan Benfica. Ketika dia pulang ke rumah hari itu, anak tersebut merengek ke ibunya," sambungnya.
Vata juga masih heran mengapa tidak sedikit orang-orang yang masih mempertanyakan keabsahan golnya ke gawang Marseille. Padahal, kejadian itu sudah lama terjadi dan tidak akan mengubah keputusan apapun.
"Saya akan mengatakan hal yang sama sampai saya mati: Saya mencetak gol dengan bahu saya. Terserah Anda mau bilang apa," pungkas Vata.
Mengadu Nasib ke Indonesia
Setelah membawa Benfica ke final Liga Champions, karier Vata Matanu Garcia seakan meredup dan dilepas ke beberapa klub semenjana Portugal serta Liga Malta.
Pada tahun 1994, Vata memutuskan bermain di Liga Indonesia bersama Gelora Dewata Bali. Keputusan manajemen Gelora Dewata memboyongnya berbuah manis.
Kehadiran mantan pemain Timnas Angola ini mampu membantu meringankan beban Misnadi Amrizal di lini depan Gelora Dewata. Pengalamannya di Eropa menjadikannya pemimpin pemain lokal Bali seperti Kadek Suartama, Komang Adnyana, Nus Yadera, dan I Bagus Mahayasa.
Vata Matanu juga diberi kepercayaan mengemban ban kapten dan bebas bermain di berbagai posisi oleh pelatih Gelora Dewata saat itu, Freddy Muli.
Oleh Freddy Muli, Vata kerap diberi kepercayaan bermain sebagai striker, winger, atau second striker bersama Abel Campos.
Hasilnya, Vata mampu menjawab kepercayaan dari sang pelatih lewat catatan 21 gol di Liga Indonesia musim 1994/1995 dan membawa Gelora Dewata bertengger di posisi lima klasemen wilayah timur di bawah Petrokimia, PKT, Assyabab SGS, dan Barito Putera.
Performa apik Vata di Liga Indonesia mampu mencuri hati suporter Bali dan juga mendapatkan sanjungan dari legenda Timnas Kamerun, Roger Milla, meski gagal membawa Gelora Dewata melaju ke babak 8 besar ketika itu. Vata Matanu juga masuk ke dalam tim Indonesia All-Stars saat menjamu Lazio pada tahun 1996.
Pada musim keduanya 1997/1998, Vata berhasil membawa Gelora Dewata lolos ke 8 besar dengan menempati posisi runner-up klasemen Liga Indonesia wilayah timur di bawah PSM Makassar lewat torehan 14 gol. Sayang kompetisi di musim itu harus dihentikan karena situasi politik yang tengah memanas di Indonesia.
Penyerang yang dikenal mematikan di area kotak penalti ini pun bergabung dengan Persija Jakarta pada musim 1999/2000. Ia membawa skuat Macan Kemayoran menembus semifinal Liga Indonesia dua kali berturut-turut.
Setelah masanya habis, Vata Matanu beralih profesi menjadi pelatih di Australia dan Bali. Kontribusinya bagi sepak bola Indonesia berlanjut dengan membuat kegiatan amal 'Beach Soccer' untuk membantu keluarga korban bom Bali pada tahun 2002.
Vata Matanu Garcia juga pernah menjadi pelatih kepala International Soccer Academy di Bali dan juga juru racik Ps Persegi Gianyar di Divisi Utama Liga Indonesia musim 2005/2006. Terkini, Vata tinggal di Melbourne, Australia.