INDOSPORT.COM – Meski Soeharto tak memiliki perhatian khusus ketika menjadi Presiden, anak dan keluarganya punya kontribusi besar di sepak bola nasional.
Menjadi Presiden terlama di Indonesia hingga mencapai 31 tahun (12 Maret 1967 – 21 Mei 1998), Soeharto justru dikenal sebagai sosok yang kurang dalam memberikan perhatian kepada sepak bola nasional.
Pria kelahiran 8 Juni 1921 itu jarang sekali hadir langsung untuk menyaksikan pertandingan Timnas Indonesia maupun laga penting kompetisi Perserikatan atau Galatama di Stadion.
Selain itu dalam masa kepemimpinannya, pengembangan infrastruktur sepak bola tak sedikitpun mendapatkan perhatian, meski berbagai proyek pembangunan nasional sangat dikedepankan saat itu.
Tetapi meski begitu, bukan berarti sepak bola menjadi terpuruk di era Soeharto menjadi Presiden. Sebab justru sebaliknya, cukup banyak inovasi terjadi di sepakak bola Indonesia kala itu.
Salah satunya lewat hadirnya kompetisi Galatama. Di mana adik dan anak kandung Soeharto ikut mengambil peran penting sebagai pemilik dua klub berbeda, di Medan dan Solo.
Mercu Buana
Peran penting di sepak bola nasional pernah dilakoni oleh adik dari Presiden Soeharto, Probosutedjo, pada era tahun 1980-an.
Berlatar belakang sebagai pengusaha, Probosutedjo terobsesi turut mengembangkan sepak bola nasional, dengan mendirikan klub Mercu Buana, yang kemudian berkiprah di kompetisi semi-profesional, Galatama.
Dengan nama yang sama dengan PT. Mercu Buana miliknya, Probosutedjo mendirikan klub sepak bolanya itu di kota Medan. Kota di mana dirinya pernah menjadi guru, seklaigus kota yang tak jauh dari asal sang istri yang dari Pemantang Siantar.
Kiprah Mercu Buana sendiri dimulai pada kompetisi Galatama 1980/81. Usai mereka lolos dari jalur play off seleksi masuk melawan enam tim lainnya.
Dengan pendanaan sepenuhnya dari kantong Probosutedjo, Mercu Buana pun menjelma menjadi klub yang cukup disegani di kompetisi Galatama. Bahkan di musim 1983/84 mereka hampir saja merebut gelar juara, andai di final tak dikalahkan Yanita Utama dengan skor 0-1.
Sayangnya setelah kegagalan di final itu, prestasi Mercu Buana langsung menurun drastis. Apa lagi perlahan klub mulai digerogoti dari dalam oleh pemainnya sendiri yang mulai bermain tak sungguh-sungguh karena terlibat dalam pengaturan skor.
Merasa kecewa dengan para pemainnya, Probosutedjo pun akhirnya memutuskan untuk membubarkan Mercu Buana sepenuhnya. Hingga kini namanya hanya menjadi kenangan di sepak bola nasional.