INDOSPORT.COM - Inter Milan bisa dikatakan menuai kesuksesan besar kala Massimo Moratti mengambil alih kepemilikan di tahun 1995. Di tangan pengusaha minyak asal Italia ini, Nerazzurri meraih beragam titel bergengsi.
Sejarah sepertinya membuktikan bagaimana kuatnya hubungan trah Moratti dengan Inter. Sebelum pria yang kini berusia 75 tahun itu mengambil alih saham Nerazzurri di tahun 1995, sang ayah nyatanya menjadi yang pertama menancapkan nama ‘Moratti’ ke Giuseppe Meazza.
Kesuksesan Inter pada dekade 60’an tak lepas dari tuah sang pemilik, Angelo Moratti. Ayah dari Massimo tersebut menjadi pemilik Nerazzurri sejak 1955 hingga 1968. Dalam 13 tahun kepemimpinannya, La Beneamata menjadi salah satu kekuatan paling menakutkan.
Melihat segala cara yang dilakukan sang ayah dalam mengelola Inter hingga berjaya di era 60’an tentu memberi pelajaran penting bagi Moratti yang akhirnya 27 tahun berselang menguasai La Beneamata.
Dari dua sosok inilah, Inter Milan meraih beragam gelar. Angelo dan Massimo Moratti menjadi sosok yang mungkin harum namanya bagi para Interisti. Berkat keduanya, nama Nerazzurri terdengar di penjuru dunia lewat beragam prestasi.
Di bawah kepemimpinan Angelo, Inter mampu meraih beragam gelar prestisius seperti Serie A, Liga Champions hingga Piala Interkontinental. Moratti justru lebih komplit dari sang ayah. Di tangannya, Nerazzurri menambah titel yang diraih sang ayah dengan Coppa Italia, Supercoppa Italia dan Piala UEFA (kini Liga Europa).
Kendati secara prestasi lebih mentereng dari sang ayah, Moratti melewati jalan terjal untuk melengkapi gelar yang dapat diraih Inter. Hal ini tak jauh berbeda dengan masa kepemimpinan awal sang ayah.
Butuh waktu cukup panjang dan uang yang tak sedikit untuk bongkar pasang pemain serta pelatih demi membawa Inter berjaya. Hal tersebut menjadi bukti kecintaan trah Moratti kepada Nerazzurri.
Kembalinya Moratti ke Giuseppe Meazza
Sejak sang ayah melepas Inter Milan, status Massimo Moratti pun lantas menjadi fans biasa. Ia pun menjalani kariernya sebagai pekerja di perusahaan yang dibeli sang ayah, Saras Raffinerie Sarde Spa.
Namun kecintaannya kepada Inter tak pernah luntur. Ia terus memikirkan klub kesayangannya tersebut. Apalagi Inter perlahan mengalami kemunduran dan jauh tertinggal dari rivalnya, AC Milan.
Hal ini membuat Moratti kembali ke Giuseppe Meazza. Tepat pada Februari 1995, Moratti mengakuisisi Inter secara penuh dari tangan Ernesto Pellegrini. Dari sinilah, ia mengandalka uang untuk menjadi sumber jawaban permasalahan yang melilit Nerazzurri.
Sejak ia ambil alih, Inter mendatangkan banyak pemain dan pelatih dengan harga mahal. Namun usaha tersebut tak serta merta berubah menjadi kesuksesan. Bahkan banyak pemain bernama besar malah tak nyetel di Giuseppe Meazza dan malah menjadi bintang di tim lain.
Buruknya manajemen menjadi alasan besar mengapa di bawahnya Inter tak kunjung menuai kesuksesan. Bahkan di tahun pertamanya, Nerazzurri hanya finis di tempat ketujuh Serie A (1995/96) yang berlanjut di tahun kedua finis di posisi ketiga (1996/97).
Bahkan di tahun pertama, Inter bak macan ompong di kompetisi Eropa. Bermaterikan pemain bertalenta seperti Roberto Carlos, Javier Zanetti, Paul Ince dan Gianluca Pagliuca, Nerazzurri hanya bisa bertahan di ronde pertama Piala UEFA (Liga Europa) 1995/96.
Pun di tahun kedua Moratti, Inter gagal di babak final karena tumbang lewat drama adu penalti dari Schalke 04. Kekalahan ini memberi tamparan keras bahwa sejatinya uang bukanlah jawaban instan untuk meraih kesuksesan.
Dengan kenyataan tersebut, Moratti pun lantas berbenah. Memasuki tahun ketiganya di klub yang ia cintai, ia berjanji tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Ia merasa harus jeli untuk menghamburkan uang dari kantong pribadinya.