INDOSPORT.COM - Ketenaran. Setiap insan bisa mendapatkan, tapi tidak semua siap menghadapinya karena momentum ini seringkali datang secara mendadak, tidak terkecuali di jagat olahraga, terutama sepak bola.
Bagi mereka yang siap, ketenaran akan disikapi dengan benar tanpa keinginan untuk merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya, bila disikapi secara salah dan cenderung kalap tentu saja akan berdampak buruk, entah buat dirinya sendiri maupun orang lain.
Di lingkup sepak bola, kasus ketenaran yang berdampak buruk biasanya menimpa para pemain muda berusia di bawah 20 tahun. Mereka belum siap menghadapi segala bentuk kemudahan serta risiko dari ketenaran itu sendiri.
Kasus terbaru berupa pencoretan dua pemain timnas Indonesia U-19, Serdy Ephy Fano dan Mochamad Yudha Febrian akibat melakukan tindakan indisipliner adalah contoh nyata ketidaksiapan menghadapi ketenaran di usia muda.
Persoalan ini disoroti oleh Herson Hizkia, pembina SSB Cibinong Poetra yang notabene tempat awal Yudha Febrian menapaki karier sepak bola sebelum dipinang Barito Putera sekitar dua tahun lalu pada 2018.
Herson menilai pemain seusia Yudha dan Serdy seharusnya banyak mendapatkan siraman rohani dan sesi khusus bersama psikolog. Mereka mesti ditanamkan cara-cara menghadapi ketenaran secara positif sehingga pribadi masing-masing teredukasi dengan baik.
"Apa yang terjadi kepada Yudha menjadi pelajaran untuk kita semua, terutama anak-anak yang sedang merintis karier sepak bola di SSB," kata Herson Hizkia kepada redaksi berita olahraga INDOSPORT, Jumat (4/12/20).
"Kita semua perlu berbenah. Pihak terkait harus paham urgensi menyentuh sisi psikologis pemain-pemain berusia remaja. Kami di SSB Cibinong Poetra berencana menggelar sesi pertemuan antara anak didik kami dengan psikolog. Hal ini sangat penting ya," cetusnya.
Di sisi lain, PSSI selaku otoritas tertinggi yang membawahi timnas Indonesia pun menyadari keadaan ini. Mentalitas dan psikologis pemain kuat berarti prestasi akan datang dengan sendirinya.
Namun, sektor psikologis dan mental pemain-pemain berusia muda kinitidak lagi menjadi prioritas utama timnas Indonesia era Shin Tae-yong, meskipun pernah diterapkan pada kepengurusan terdahulu.
Sekadar mengingatkan, keberadaan psikolog di jajaran kepelatihan timnas Indonesia usia muda seperti U-16, U-19, dan U-22 sebenarnya pernah dilakukan di masa lalu, yakni oleh Fakhri Husaini di timnas Indonesia U-16 (2018) dan Indra Sjafri di timnas Indonesia U-22 (2019).
Keduanya memaksimalkan jasa psikolog untuk membina mentalitas pemain muda masing-masing. Hasilnya, baik Fakhri Husaini maupun Indra Sjafri berhasil menjaga keharmonisan tim yang berujung prestasi membanggakan berupa trofi Piala AFF U-16 2018 dan Piala AFF U-22 2019.