INDOSPORT.COM – Bursa transfer musim dingin Januari 2021 telah dibuka. Bagi Chelsea, momen tersebut bisa jadi momen tepat untuk mengambil keputusan besar dengan mendatangkan pengganti Frank Lampard.
Nama Lampard menjadi sorotan sejak Desember 2020 lalu. Hal tersebut tak lepas dari laju buruk yang didapatkan Chelsea di kancah Liga Inggris 2020/21.
Di periode sibuk Desember 2020 hingga awal Januari 2021, Chelsea menelan empat kekalahan dari enam laga yang dijalani. Sedangkan dua laga lainnya, The Blues menang satu kali dan imbang satu kali.
Jika menilik dari lawan-lawan yang dihadapi, kekalahan Chelsea sejatinya bisa dihindari. Dalam periode tersebut, The Blues tumbang dari Everton,Wolverhampton Wanderers, Arsenal dan Manchester City.
Tiga tim pertama dihadapi Chelsea dengan kondisi yang tak cukup apik. Sebagai contoh, Everton saat menjamu The Blues harus kehilangan beberapa pemain pilar seperti James Rodriguez dan Lucas Digne.
Wolverhampton pun tengah dalam laju buruk karena kerap tumbang sebelum melawan Chelsea di kandang. Pun dengan Arsenal yang seperti diketahui tak pernah menang sejak 1 November 2020 sebelum kembali ke jalur kemenangan saar melawan The Blues.
Buruknya catatan ini membuat banyak pihak (kembali) mempertanyakan kualitas dari sosok Lampard sebagai pelatih. Pertanyaan ini hadir karena secara kualitas tim, Chelsea memiliki kedalaman skuat mumpuni.
Jumlah pemain di skuat Chelsea saat ini (per 10 Januar 2021) hampir mencapai 30 pemain. Di setiap posisi, setidaknya The Blues memiliki tiga pemain yang bisa menjadi opsi untuk diturunkan.
Dengan fakta tersebut, jelas bila kualitas Lampard dalam memanajemen permainan dipertanyakan. Padahal, untuk pelatih sekaliber Chelsea, pria berusia 42 tahun tersebut harus mampu mengatur dan menyiapkan pemain yang akan ia turunkan.
“Saya lebih banyak memiliki pemain non-starter ketimbang starter dan itu membuat pemain kesulitan. Anda akan sulit meminta mereka semua bahagia,” tutur Lampard.
Dalam pernyataan tersebut, Lampard mengeluh karena adanya dugaan para pemain yang kerap ia cadangkan melakukan pemberontakan kepadanya. Namun, keluhan ini bisa saja tak keluar dari mulutnya, andai ia mampu memanfaatkan kedalaman skuat yang dimiliki.
Frank Lampard seperti tak belajar dari kesalahan-kesalahannya. Penempatan Timo Werner di sayap saat Callum Hudson-Odoi fit merupakan kesalahannya dalam memanajemen pemain yang terus ia buat berulang-ulang di beberapa laga.
Atau kesalahan lain saat Lampard tak mau mencadangkan Mason Mount dan malah lebih sering mencadangkan Kai Havertz yang baru didatangkan dengan alasan adaptasi (meskipun secara statistik, Havertz lebih unggul dari Mount).
Kesalahan-kesalahan ini pun berlanjut dengan keputusan Lampard yang tak mampu melakukan rotasi pemain sehingga memberi efek seperti cedera dan kelelahan di skuat utama serta tak bahagianya para pemain cadangan.
Kesalahan terbesar Lampard pun tak hanya dari segi dalam manajemen pemain. Kesalahan juga hadir dari caranya menerapkan strategi untuk para pemain Chelsea.
Dalam dua musim terakhir (di era Maurizio Sarri dan musim pertama Frank Lampard), Chelsea menjadi salah satu tim Inggris dengan permainan ciamik yang mengandalkan umpan terobosan (Through Pass) untuk membuat peluang dari Open Play.
Kenyataan di dua musim itu tak ayal memberi warna baru bagi Chelsea yang identik dengan tim defensif. Kenyataan itu pula yang menjadi harapan sang pemilik, Roman Abramovich yakni The Blues menjadi tim berprestasi dengan gaya permainan cantik.
Namun di musim 2020/21 ini, permainan tersebut perlahan memudar. Malahan, di musim kedua Lampard sebagai pelatih, Chelsea lebih banyak memainkan bola panjang (crossing) untuk membuat peluang dan mencetak gol.
Saat tumbang dari Arsenal, Chelsea memilih bermain bertahan dan memanfaatkan sisi sayap untuk membuat peluang. Total 26 umpan silang dilepaskan The Blues di laga itu.
Banyaknya umpan silang yang dibuat Chelsea menjadi bukti bahwa Lampard tak memiliki playmaker andal di lini tengah. Di sinilah fungsi Mason Mount yang notabene 'anak emasnya' dipertanyakan sebagai gelandang serang.
Dengan kata lain, isu pemecatan Lampard sendiri terjadi bukan hanya karena laju buruk Chelsea, melainkan juga karena kesalahan-kesalahan dan caranya dalam menerapkan permainan untuk anak asuhnya.
Tak ayal nama-nama beken seperti Thomas Tuchel, Julian Nagelsmann, Ralph Hasenhuttl yang notabene pelatih dengan gaya permainan ciamik dan manajemen permainan mumpuni menjadi kandidat kuat pengganti Lampard.
Namun keputusan ini kembali ke tangan manajemen Chelsea. Bisa dikatakan, pemecatan Lampard hanya akan membuat situasi hingga akar rumput akan menjadi runyam.
Pasalnya, baik sebagian pemain dan pendukung Chelsea tak melihat kinerja Frank Lampard sebagai pelatih. Malahan mereka lebih mengedepankan sisi emosional dan tak mau sang pelatih dipecat karena statusnya sebagai legenda klub asal London Barat itu.