In-depth

Serial Ketum PSSI yang Tercoreng Perkara Pembubaran Liga: La Nyalla Mattalitti (2015)

Jumat, 5 Februari 2021 20:35 WIB
Editor: Indra Citra Sena
© PSSI/Eli Suhaeli/INDOSPORT
Logo PSSI Copyright: © PSSI/Eli Suhaeli/INDOSPORT
Logo PSSI

INDOSPORT.COM - Sejarah cenderung berulang, tak terkecuali dalam sepak bola. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Tanah Air, yakni pembubaran Liga 1 2020 oleh PSSI akibat force majeure berupa pandemi virus corona.

Berkaca dari sejarah, pembubaran Liga Indonesia bukan sekali ini saja terjadi. Setidaknya kompetisi pernah dua kali distop di tengah jalan dengan alasan yang berbeda, yakni edisi 1997-1998 (kasus mafia wasit dan kerusuhan) dan 2015 (konflik PSSI-Kemenpora).

Artinya, pembubaran Liga 1 2020 adalah kali ketiga sepanjang perjalanan kompetisi era profesional pasca-peleburan dua kutub sepak bola di Tanah Air, Galatama dan Perserikatan (1994-sekarang).

Di tiga kasus berbeda itu, terdapat tiga nama Ketua Umum PSSI yang ikut andil membubarkan Liga Indonesia. Mereka melakukannya karena tak punya pilihan lain, tapi tetap saja berdampak buruk kepada ketiganya secara pribadi.   

Azwar Anas (1998), La Nyalla Mattalitti (2015), dan Mochamad Iriawan (2020) akan selamanya dikenang sebagai Ketum PSSI yang mengecewakan sebagian besar rakyat Indonesia penikmat sepak bola lantaran mereka telah membubarkan kompetisi.

Padahal, baik  Azwar Anas, La Nyalla, maupun Iriawan punya jasa lain yang seharusnya patut diapresiasi, tapi seakan dilupakan lantaran tercoreng perkara 'sepele' pembubaran kompetisi. 

Redaksi berita olahraga INDOSPORT merangkum sepak terjang ketiganya secara terpisah. Setelah edisi sebelumnya membahas Azwar Anas, sekarang giliran La Nyalla Mattalitti (2015).

La Nyalla Mattalitti, Sang Pembangkang

© Ratno Prasetyo/INDOSPORT
La Nyalla Mattalitti terpilih sebagai ketua DPD. Copyright: Ratno Prasetyo/INDOSPORTLa Nyalla Mattalitti.

Memasuki dekade 2010-an, bal-balan Indonesia kerap kali bersinggungan dengan konflik dan dualisme. Yang paling parah sampai menghancurkan sendi-sendi sepak bola tentunya adalah perseteruan antara La Nyalla Mattalitti dengan Imam Nahrawi. 

La Nyalla Mattalitti merupakan Ketum PSSI periode 2015-2019, sedangkan Imam Nahrawi menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI 2014-2019. Keduanya terlibat konflik yang ujungnya malah mengakibatkan Liga Super Indonesia (LSI) 2015 dibubarkan. 

Semua berawal dari keengganan Imam Nahrawi mengakui kongres PSSI yang memunculkan La Nyalla sebagai ketua umum terpilih. Kemenpora bahkan membentuk Tim Sembilan untuk membenahi sepak bola Indonesia tanpa sedikit pun melibatkan kepengurusan baru PSSI kala itu.

Kepelikan berlanjut kepada keputusan Kemenpora membekukan PSSI lewat surat keputusan nomor 01307 tertanggal 17 April 2015. Mulai saat itu juga, mereka sepenuhnya memegang kendali atas kompetisi ISL 2015.

Namun, PT Liga Indonesia selaku operator kompetisi yang berada di bawah naungan PSSI tak mau 'melayani' Kemenpora. Akhirnya, Komite Eksekutif (Exco) pun memutuskan untuk membubarkan ISL 2015.

"Saya bingung karena merasa tidak pernah punya masalah dengan Imam Nahrawi. Waktu ditetapkan sebagai Menpora, saya datang menyampaikan selamat dan diterima baik-baik, mengajak cipika-cipiki serta foto bareng," ujar La Nyalla Mattalitti waktu itu.

Efek konflik PSSI-Kemenpora sangat fatal. FIFA menjatuhkan sanksi berat berupa pembekuan dari seluruh agenda sepak bola internasional lantaran melihat adanya campur tangan pemerintah dalam pengelolaan kompetisi di Indonesia.

Sanksi tersebut baru dicabut pada medio 2016. Indonesia terpaksa harus membangun kembali sepak bola nasional dari nol yang diawali partisipasi di Piala AFF 2016.

Balik ke La Nyalla, masa jabatannya di PSSI tidak lama, kurang lebih setahun (2015-2016), karena tersandung kasus hukum. Dia lantas memilih untuk mengundurkan diri dan mengembalikan mandat kepada Kongres Luar Biasa (KLB).

"Saya konsisten (mengundurkan diri) dan akan mengembalikan mandat ini kepada saudara-saudara sekalian di KLB PSSI," demikian bunyi pernyataan La Nyalla Mattalitti dalam sepucuk surat yang dibacakan Hinca Panjaitan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, 3 Agustus 2016.