Liga Champions, Panggung Para Juara yang Semakin Bias dan Kehilangan Makna
Berdasarkan catatan sejarah, Liga Champions pertama kali bergulir pada edisi 1955-1956, dengan format lama tentunya. Pesertanya pun masih 'murni', yaitu para jawara liga-liga domestik, dengan menggunakan sistem turnamen (kalah langsung gugur).
Berselang 36 tahun kemudian, UEFA merombak format kompetisi sekaligus membidani Liga Champions yang kita kenal sekarang. Reformasi ini dimulai per edisi 1992-1993, walaupun tercoreng skandal Marseille (gelar juara dicabut akibat terlibat pengaturan skor di liga domestik).
Total lima musim pertama era baru Liga Champions hingga 1996-1997 berjalan sesuai 'kodrat' karena pesertanya adalah klub-klub juara liga domestik di Eropa. Masih eksklusif dan murni.
Penyimpangan baru dilakukan pada edisi 1997-1998. Runner-up dari sebagian liga domestik yang masuk kategori elite mendapatkan jatah, meski diharuskan mengikuti babak kualifikasi sebelum memastikan slot di fase grup.
Semakin ke sini, jumlah klub dari negara-negara elite kian bertambah. Makna Liga Champions pun bukan lagi kompetisinya para juara Eropa, terlebih bila melihat daftar juara sejak UEFA memberlakukan kebijakan baru tersebut (1997-1998).
Dari total 24 musim, hanya 10 kampiun Liga Champions yang 'berdarah murni', dalam artian berpartisipasi dengan status juara liga domestik, bukan runner-up, peringkat ketiga, apalagi peringkat keempat.
Perinciannya juara 'berdarah murni' antara lain Real Madrid (1997-1998, 2001-2002, 2017-2018), Bayern Munchen (2000-2001, 2019-2020), FC Porto (2003-2004), Barcelona (2005-2006, 2010-2011), Manchester United (2007-2008), dan Inter Milan (2009-2010).
Selebihnya? Ya tentu saja juara yang bukan juara, termasuk Liga Champions musim ini. Baik Manchester City maupun Chelsea bukanlah kampiun Liga Inggris 2019-2020.
Mereka masing-masing sebagai runner-up dan peringkat keempat, sedangkan sang raja Premier League musim lalu adalah Liverpool, yang diketahui tersingkir lebih dulu dari ajang Liga Champions 2020-2021 akibat ditekuk Real Madrid di perempat final.
Rekor juara dari jalur paling rendah masih dipegang oleh AC Milan (2002-2003) dan Liverpool (2004-2005). Keduanya sama-sama lolos ke Liga Champions bermodalkan label peringkat keempat liga domestik dan harus melewati kualifikasi sebelum melaju ke fase grup.
Musim ini, Chelsea berpeluang menyamai rekor AC Milan dan Liverpool, namun siapa pun nantinya yang menang tetap saja nilai luhur Liga Champions telah luntur.
Makna sejati Liga Champions sudah lama terkikis. Kini sudah bergeser dan kehilangan eksklusivitas, sehingga pemenangnya tidak lagi pantas diagung-agungkan dengan label "Juara dari Para Juara".