3 Dosa Besar Pep Guardiola hingga Membuat Man City Gagal Merengkuh Liga Champions
1. Tak Memainkan Gelandang Bertahan Murni
Saat Line Up dimunculkan, Guardiola memainkan formasi 4-3-3 di mana tiga gelandang tengah diisi oleh Ilkay Gundogan, Bernardo Silva, dan Phil Foden.Tiga nama tersebut identik dengan permainan menyerang.
Alasan Guardiola memainkan tiga gelandang bertipe menyerang untuk lini tengahnya di final Liga Champions sendiri adalah ia telah memilih pemain yang tepat.
Alasan Guardiola itu tak salah. Sebab di dua laga sebelumnya saat dirinya tumbang melawan Chelsea dan Tuchel, ia telah memainkan Rodri dan Fernandinho. Namun hasilnya tetap sama saja.
Selain itu,maksud Guardiola memainkan gelandang bertipe ofensif sendiri untuk mencuri gol cepat karena mengetahui kesulitan Chelsea dalam mengkonversi peluang.
Keputusan tepat itu malah nyatanya berbuah bencana. Sebab, permainan ofensif Man City tak mampu mendobrak pertahanan Compact Chelsea yang mengenakan skema 5 bek saat bertahan.
Ketidakmampuan Man City membongkar pertahanan Chelsea dalam fase menyerang berbuah petaka di mana Chelsea mampu mencuri gol pertama di laga ini.
Gol Kai Havertz sendiri berangkat dari High Pressing Man City dari Second Line di mana Gundogan (gelandang tengah) telah meninggalkan posnya.
Andai saat itu Fernandinho bermain, mungkin Mason Mount takkan mendapat ruang begitu luas di tengah sehingga mampu menerima bola dan mengirim Through Ball ke Kai Havertz.
2. Tak Memainkan Striker Murni sedari Awal
Sama seperti pembahasan di atas, selain tak memainkan gelandang bertahan murni, Guardiola juga tak memainkan striker murni di laga ini.
Memang Guardiola tak membutuhkan penyerang murni, mengingat laju Man City yang apik kendati tak ada penyerang dalam starternya di Liga Inggris dan ajang lain musim ini.
Namun di final Liga Champions, hal ini menjadi kesalahan besar. Sebab, permainan Man City menjadi lebih berkutat ke Possesion Ball ketimbang membuat peluang atau Chances Created.
Tak adanya sosok Target Man membuat peluang Man City bisa dikonversikan menjadi gol. Sebagai contoh kecil, peluang Raheem Sterling di menit ke-8 bisa saja berbuah gol andai ada sosok penyerang di tengah yang bisa ia sodori operan.
Selain itu, tak adanya penyerang membuat lini serang Man City tak bisa membongkar pertahanan dengan menarik bek Chelsea untuk membuka ruang.
Kendati telah memasukkan Gabriel Jesus dan Sergio Aguero, namun Man City telah telat dan berada dalam posisi tertinggal. Alhasil, Chelsea hanya fokus bertahan dengan lima bek dan dua Double Pivot di depannya.
3. Tak Mau Beradaptasi dengan Permainan Chelsea
Seluruh pecinta sepak bola sepakat bahwa Chelsea bermain bertahan di laga ini dan menumpuk pemain belakang di areanya.
Namun alih-alih beradaptasi dengan gaya bermain pragmatis dan fleksibel Chelsea, ia memilih untuk memainkan taktik berbeda setiap bertemu Chelsea dan Tuchel.
Sebagai informasi, Chelsea menjadi salah satu klub yang sulit ditaklukan Guardiola sepanjang karier melatihnya. Kemampuan The Blues membuat rekor buruk untuknya tak lepas dari gaya bermain pragmatis.
Tuchel pun mempraktekan hal tersebut sejak datang menukangi Chelsea. Bahkan Guardiola dan Man City dibuatnya bertekuk lutut dua kali sebelum laga final.
Sebelum laga final, Guardiola telah menemukan rahasia Chelsea di bawah arahan Tuchel. Namun, pernyataannya hanya sebatas retorika saja karena ia tak mempraktekan apa yang ia pahami.
Man City seperti kehilangan gaya bermainnya yang cepat dan Direct. Tak adanya gelandang bertahan membuat Man City cenderung bermain aman karena ketakutan akan hancurnya transisi bertahan saat mendapat serangan balik.
Sehingga, permainan Man City lebih cenderung ke penguasaan bola tanpa adanya peluang yang diciptakan karena kehati-hatian tersebut.