INDOSPORT.COM - Tragedi Kanjuruhan adalah insiden terparah dalam sejarah sepak bola Indonesia usai menewaskan lebih dari 180 jiwa. Awalnya sebatas Big Match Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/22).
Saling tuding soal siapa paling bertanggung jawab atas musibah ini sejak awal sudah ramai, namun sebenarnya akar permasalahan terlalu meluas untuk menyalahkan satu pihak saja.
Polisi yang berjaga di Stadion Kanjuruhan dianggap sebagai biang keladi utama. Cara mereka menertibkan massa dinilai menyalahi aturan.
Tidak cuma mengandalkan kekerasan fisik dengan pakaian serta peralatan anti huru-hara, polisi juga dikritik karena penggunaan air gas air mata.
Padahal, FIFA jelas sudah menulis larangan pemakaian senyawa tersebut karena di tempat yang sempit seperti tribun stadion, penggunaannya bisa semakin membuat keadaan semakin kacau.
Ditambah lagi, mereka yang tidak ikut terlibat dalam kerusuhan pun sangat rentan ikut menghirup gas tersebut usai polisi menembakkan amunisi mereka secara membabi buta.
Tidak heran jika dalam daftar korban tewas kebanyakan adalah wanita dan anak-anak hingga remaja. Polisi jelas tidak bisa lepas tangan apalagi mencucinya dengan alasan terdesak.
Penyerbuan suporter ke dalam lapangan seperti di Kanjuruhan memang bukan perbuatan terpuji dan juga melanggar aturan, namun bisa saja ditertibkan dengan cara yang lebih manusiawi.
Invasi suporter ke dalam lapangan masih sering terjadi di belahan dunia lain, namun tidak pernah terdengar sampai harus menumbalkan banyak jiwa.
Namun sesalah dan seberdosa apapun pihak berwajib, mereka tidak akan pamer aksi brutal jika tidak dipicu suatu hal. Mereka yang menerobos masuk ke lapangan terutama provokator, juga punya andil besar dalam tragedi Kanjuruhan.