Alasan Kenapa Rumput Sintetis jadi Musuh Utama Marc Klok cs di Laga Piala AFF Filipina vs Indonesia
Rumput sintetis pada awalnya dipopulerkan untuk mengatasi masalah seperti minimnya fasilitas olahraga.
Bagi daerah yang kondisinya memang sulit untuk ditumbuhi rumput natural, penemuan ini bagai hadiah luar biasa. Negara-negara dengan iklim dingin seperti Rusia atau Islandia adalah contoh pelanggan rumput buatan.
Yang kedua adalah solusi bagi berlimpahnya limbah ban. Ban-ban bekas yang mungkin sudah sulit untuk didaur ulang kemudian dicacah menjadi remah karet atau rubber crumb.
Remah tersebut cukup sering kita temukan dalam lapangan-lapangan futsal atau sepakbola indoor di Indonesia. Tujuannya adalah membuat permukaan lapangan sintetis menjadi lebih empuk.
Hanya saja yang namanya tiruan tidak akan pernah bisa 100% menyamai barang aslinya. Begitu juga dalam kasus rumput sintetis sebagai ganti rumput alami.
Memamg biaya pemasangan dan perawatannya lebih murah ketimbang pesaingnya namun rumput sintetis namun sisi negatifnya cukup banyak.
Berbeda dengan rumput alami yang tumbuh di atas tanah, rumput tiruan menggunakan alas beton. Permukaannya pun jadi lebih keras sehingga jika digunakan untuk sepakbola, si kulit bundar pantulannya menjadi lebih tinggi dan sulit dikontrol.
Penggunaan remah karet juga bisa membuat laju bola ketika diumpan menjadi berbeda dan lagi-lagi bisa mempengaruhi kualitas kontrol seorang pemain.
Luka pun juga jadi lebih sering ketika terjatuh. Memang remah karet difungsikan untuk meminimalisir benturan namun teksturnya yang agak kasar bisa menyakiti para pemain.
Penelitian dari American Journal of Sports Medicine pada 2013 lalu pun mengemukakan jika atlet 20% lebih rentan akan cedera jika bermain di rumput sintetis.