3 Cara Ampuh Inter Milan Runtuhkan Super Team Man City di Final Liga Champions
Tak ada yang meragukan kualitas Man City. Bahkan, julukan super team pun layak disematkan kepada mereka.
Bagaimana tidak, City sukses menjadi juara Liga Inggris dengan torehan 94 gol dan hanya 33 kali kebobolan.
Dari 94 gol itu, lebih dari sepertiganya disumbang oleh Erling Haaland dengan 36 gol yang mencatatkan namanya di buku sejarah pencetak gol terbanyak dalam semusim Liga Inggris.
City mempunyai skuat lengkap. Di Liga Inggris misalnya, mereka punya pengumpan-pengumpan andal seperti Kevin De Bruyne (18 assist), Riyad Mahrez (10 assist), Jack Grealish (7 assist), hingga Erling Haaland sendiri dengan 8 assist.
Sementara itu, Haaland bukan satu-satunya mesin gol. City punya pencetak gol yang merata di lini tengah. Sebut saja Phil Foden (11 gol), Julian Alvarez (9 gol), Ilkay GUndogan (8 gol), dan Kevin De Bruyne (7 gol).
Itu artinya, City tak pernah kehabisan potensi mencetak gol. Bahkan raihan rata-rata distribusi gol Man City adalah yang terbaik di antara lima liga top Eropa.
Sebaliknya, Inter Milan kesulitan di liga. Skuat asuhan Simone Inzaghi hanya finis di posisi ketiga dengan catatan 72 gol dan 42 kebobolan.
Inter juga menderita 12 kekalahan di liga berbanding City yang hanya 5 kali. Selain itu, Inter cuma punya Lautaro Martinez sebagai mesin gol dengan "hanya" 21 gol di Liga Italia.
Disusul oleh Romelu Lukaku yang belakangan tampil gacor dengan 10 gol dan ada Edin Dzeko dengan 9 gol.
Dari segi assist, 7 adalah jumlah terbanyak yang bisa dicetak satu pemain inter di liga. Bandingkan dengan De Bruyne yang sudah membuat 18 assist.
Lalu, bagaimana kira-kira cara Inter Milan asuhan Simone Inzaghi menjatuhkan Super Team Machester City pada laga Final Liga Champions nanti?
1. Bermain Pragmatis
Sepak bola pragmatis bukanlah hal baru di kompetisi sekelas final Liga Champions. Dalam dua dekade terakhir, kita telah menyaksikan sejumlah tim dengan permainan pragmatis menggondol trofi juara.
Sebut saja Porto (2004), Inter Milan (2010), Chelsea (2012), dan Chelsea (2021). Dalam sepak bola, para juaralah yang dicatat dalam buku sejarah Liga Champions.
Orang pada akhirnya tak akan mempermasalahkan bagaimana tim tersebut mampu meraih kemenangan di final. Untuk itu, tak ada jalan lain bagi Inter untuk bermain pragmatis.
Sepak bola pragmatis bisa diterjemahkan sebagai parkir bus alias bertahan total dengan mencuri kesempatan serangan balik. Cara ini akrab dengan Jose Mourinho.
Inter Milan pun pernah melakukan hal ini dalam perjalanan mereka meraih gelar Liga Champions 2010 di bawah Mourinho. Untuk itu, tak perlu malu bagi Nerazzurri mengulangi hal yang sama.
Apalagi, Simone Inzaghi memiliki taktik 3-5-2 yang sangat cocok untuk strategi semacam ini.
Inzaghi bisa menarik gelandangnya seperti Robin Gosens dan Denzel Dumfries di sisi flank untuk mundur ke belakang membantu lini pertahanan yang digawangi Stefan de Vrij, Alessandro Bastoni, dan Matteo Darmian atau pun Milan Skriniar tergantung siapa yang diturunkan.
Sehingga ada lima pemain akan menumpuk di belakang. Lalu Inter akan dapat bantuan dari Nicolo Barela, Brozovic, hingga Galiardini dari tengah untuk membantu pertahanan.
Mungkin lini serang hanya menyisakan salah satu dari Lautaro Martinez atau Romelu Lukaku. Dengan catatan bola langsung dialirkan ke Hakan Calhanoglu sebagai motor serangan balik, atau langsung mengirim bola direct ke sisi jauh lapangan.
Meski dijuluki super team, tapi Manchester City tidaklah invincible. Faktanya, mereka sudah merasakan lima kekalahan di Liga Inggris yang di antaranya berasal dari Brentford (back-to-back).
Di atas kertas, Brentford bukanlah tandingan City, tetapi mereka berhasil menang karena bermain dengan cara pragmatis.
Bahkan, Spurs dan Liverpool yang sukses menjungkalkan City juga memakai cara yang sama meski tak seekstrem Brentford. Inter Milan pun bisa meniru cara ini pada final Liga Champions nanti.